Oleh: Emerson Tarihoran
Kasus Azis Syamsuddin dan Penyidik KPK
TERPERANJAT adalah kata yang tepat untuk menyebut reaksi publik terhadap tertangkapnya penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Stepanus Robin Pattuju (SRP) menggarap uang suap dari Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial. Tetapi lebih terperanjat lagi, setelah mengetahui Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin-lah yang memulainya.
KPK, meski telah berlumur lumpur hujatan dan cacian, menurut saya, masih patut dipuji dengan pengungkapan kasus ini. Patut dipuji, karena lembaga itu berani membuka sebuah perbuatan memalukan yang dilakukan oleh aparaturnya sendiri, di tengah cercaan terhadap lembaga super bodi itu.
Sebenarnya, sudah lama kita dengar para penyidik yang merupakan ‘penyerang’ di garis depan KPK, jual beli ‘tutup’ kasus kepada para koruptor. Kita bisa menyaksikan banyak kasus korupsi yang dipajang di muka publik, tetapi tidak dituntaskan. Seperti kasus Bank Century, kasus BLBI, kasus e-KTP yang melibatkan Markus Nari, kasus TPPU yang melibatkan Chaeri Wardana alias Wawan, kasus Garuda Indonesia, dan sederet kasus lainnya.
Begitu pun kasus Harun Masiku, yang kini masih dengan enteng bagi KPK menganggap kasus OTT itu hanya perlu memenjarakan komisioner KPU Wahyu Setiawan. Harun yang dilindungi oleh politikus, tampaknya tidak penting lagi bagi KPK. Padahal, sudah lebih dari setahun, tepatnya setahun tiga bulan, Harun Masiku nyaman-manyan saja di kamar persembunyiannya.
Caleg PDIP itu lolos dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 8 Januari 2020. Saat itu, dan tujuh orang lainnya digaruk. Sempat Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron berkilah Harun berada di luar negeri ketika terjadi OTT. Harun dibiarkan melancong ke Singapura pada 6 Januari.
Setali tiga uang, Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Arvin Gumilang pada 13 Januari menyebut Harun belum kembali ke Indonesia. Namun, faktanya Harun sudah kembali ke Indonesia pada 7 Januari atau sehari sebelum KPK menggelar OTT.
Kepulangan Harun ke Indonesia diungkapkan langsung oleh Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Ronny Sompie. Atas selisih keterangan itu Kemenkumham berdalih terjadi kerusakan sistem imigrasi sehingga Harun dan ratusan penumpang saat itu tak tercatat dalam data kedatangan. Ronny Sompie lantas dipecat.
Keterangan Sompie soal kepulangan Masiku diikuti oleh keterangan KPK yang mengaku sudah mengetahui Harun berada di Jakarta sebelum OTT. Lembaga yang dipimpin Firli Bahuri Cs itu bahkan sudah mengendus keberadaan Harun di sekitar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Kebayoran Baru, Jakarta, saat melakukan operasi senyap.
Namun, supremasi hukum yang digenggam oleh KPK, ternyata masih kalah dengan supremasi kekuasaan yang digenggam oleh politikus. Amat miris memang, di tengah krisis ekonomi dan krisis kepercayaan berbangsa dan bernegara, masih saja pemegang kekuasaan politik ‘mencakar’ sangat dalam penegakan hukum, terutama korupsi.
Kembali ke kasus Wali Kota Tanjungbalai, M Syahrial (MS) dan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju (SRP). Ternyata keduanya dikenalkan oleh Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin (AZ) di rumah dinasnya sendiri. Perkenalan yang dapat digambarkan sebagai ‘penandatanganan’ semacam memory of agreement (MoA) tutup kasus korupsi.
”Pada Oktober 2020 SRP melakukan pertemuan dengan MS di rumah dinas AZ, Wakil Ketua DPR di Jakarta Selatan,” kata Firli Bahuri. Saat itu, Azis Syamsuddin memperkenalkan MS kepada SRP dan meminta Stepanus membantu M Syahrial menutupi kasusnya.
”Dalam pertemuan tersebut AZ memperkenalkan SRP dengan MS terkait penyelidikan dugaan korupsi di pemerintahan Kota Tanjungbalai yang sedang dilakukan KPK agar tidak naik ke tahap penyidikan dan meminta agar SRP dapat membantu supaya permasalahan penyelidikan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh KPK,” tutur Firli.
Di depan anggota DPR RI yang terhormat itulah, koruptor dan pemborgol koruptor sepakat membuat sebuah komitmen. Kemudian terungkap, komitmen itu adalah konsekuansi uang pelicin sebesar Rp1,5 miliar. Membicarakan uang pelicin di hadapan anggota DPR RI yang terhormat itu, biasanya, bebas dari jeratan hukum.
”Menindaklanjuti pertemuan di rumah AZ, kemudian SRP diperkenalkan kepada MS untuk bisa membantu permasalahannya. SRP bersama pengacara wali kota, Maskur Husain (MH) sepakat untuk membuat komitmen dengan MS terkait penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi di pemkot tanjung balai untuk tidak ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyiapkan uang sebesar Rp 1,5 miliar,” jelas Firli lagi.
Sang Wali Kota mentransfer uang kepada penyidik secara bertahap hingga 59 kali ke rekening Riefka Amalia (RA) yang kenyataannya milik penyidik KPK. ”MS menyetujui permintaan tersebut dengan mentransfer uang secara bertahap kurang lebih 59 kali transfer kepada rekening milik saudara RA teman dari saudara SRP dan juga MS memberikan uang secara tunai kepada SRP sehingga total uang yang telah diterima oleh SRP kurang lebih Rp 1,3 miliar,” kata Firli.
Setelah uang diterima penyidik KPK itu, SRP meyakinkan bahwa KPK tidak akan melanjutkan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi di Pemkot Tanjungbalai. Bahkan, penyidik KPK itu telah berani menjanjikan akan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus yang melibatkan Wali Kota M Syahrul.
Sebuah karya yang sangat besar, yang telah dibuat oleh Anggota Fraksi Golongan Karya itu, dengan memanfaatkan revisi UU KPK dari yang tidak mengenal SP3, menjadi bisa mengeluarkan SP3. Tidak heran, jika publik menduga, kasus-kasus yang telah diper’dagang’kan oleh para politikus itu, mulai dari Polisi, Kejaksaan, hingga KPK, semua bisa diakhiri dengan pemberian ‘sertifikat’ SP3.
Jual-beli SP3 KPK ini, sangat menyakitkan hati masyarakat Indonesia. Di saat pandemi belum reda, korban pandemi masih bergelimpangan di sana-sini, rakyat menjerit mencari makan, tetapi politikus dengan bebas dan penuh canda tawa memperdagangkan SP3. Surat SP3 yang menjamin koruptor tidak dijerat hukum lagi, meski telah menggarong uang rakyat dalam jumlah fantastis.
Sampai kapan politikus bisa tunduk di bawah supremasi hukum? Tidakkah jeritan rakyat dapat membelalakkan mata hati para penegak hukum, yang sesungguhnya memegang tombol supremasi hukum? Tampaknya rakyat masih harus bersabar untuk itu.
*Penulis adalah Jurnalis Senior