Dari Mana Asal Nenek Moyang Suku Asmat?
Pada zaman dulu, diceritakan adanya sesosok Dewa yang turun ke bumi. Dewa itu bernama Dewa Fumeripitsy. Dan tujuannya ke bumi adalah untuk menjelajahi bumi. Petualangannya dimulai dari ufuk barat matahari tenggelam. Namun, di tengah perjalanannya berpetualang, Sang Dewa justru bertemu dengan buaya raksasa. Meski bisa mengalahkannya, tetapi sang Dewa terluka parah dan terdampar di sebuah tepi sungai.
Setelah menahan rasa sakitnya, sang Dewa pun akhirnya bertemu dengan burung Flaminggo. Burung tersebut menolong sang Dewa dan merawatnya hingga pulih dari lukanya. Lalu, sang Dewa pun memutuskan untuk tinggal di wilayah tersebut dan membangun sebuah rumah, serta mengukir dua patung yang sangat indah. Dan bukan hanya itu, sang Dewa juga membuat genderang yang sangat nyaring bunyinya agar bisa mengiring tarinya tanpa henti.
Dahsyatnya gerakan yang dimiliki sang Dewa, membuat dua patung ukirannya menjadi hidup. Yang kemudian mereka menari bersama dan mengikuti gerakan sang Dewa.
Dan setelah itu, kedua patung tersebut menjadi sepasang manusia pertama yang menjadi nenek moyang suku Asmat.
Dua Wilayah Suku Asmat
Bagi yang belum tahu, suku Asmat sebenarnya terbagi menjadi dua, yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di wilayah pedalaman. Ada beberapa hal yang membedakan, seperti pola hidup, cara berpikir, struktur sosial, dan keseharian. Contoh dari perbedaan mereka, misalnya, mereka yang tinggal di pedalaman, biasanya memiliki mata pencaharian berburu dan bertani kebun. Sedangkan para penduduk yang tinggal di wilayah pesisir pantai, kebanyakkan menjadi nelayan untuk menjadi mata pecahariannya. Perbedaan tersebut jelas berdasarkan geografis dari masing-masing wilayah.
Dan berdasarkan itu, suku Asmat sendiri tersebar dari pesisir pantai laut Arafuru hingga pegunungan Jayawijaya. Secara keseluruhan mereka menempati wilayah kabupaten Asmat, dengan total kecamatan (kurang – lebih) ada 7.
Jika kalian mengira ini kecil atau jarak tempuhnya dekat, kalian salah.
Suku Asmat membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua hari untuk perjalanan ke kampung atau kecamatan lainnya. Hal ini bukan karena mereka tidak bisa memasukkan kendaraan, hanya saja, wilayah Asmat masih berawa dan hanya bisa dilewati dengan perahu ataupun berjalan kaki.
Kesenian Suku Asmat
Jika kalian mendengaar kata suku Asmat, pasti kalian berpikir soal seni ukir, toh? Tapi, pernah, gak, sih, kalian dengar tentang rumah bujang?
Seperti namanya, rumah yang terbuat dari kayu-kayu kokoh ini memang biasa dihuni oleh para lelaki bujang, alias mereka yang belum menikah. Meski begitu, tak jarang rumah ini dijadikan sebagai tempat untuk rapat desa, pesta adat, penyambutan tamu, dan segala hal yang berhubungan dengan tradisi. Karena itu, di setiap desa suku Asmat, pasti memiliki satu rumah bujan di desanya.
Masih berkaitan dengan para leluhurnya, suku Asmat membangun rumah bujang dengan bahan alami tidaklah tanpa alasan. Satu hal yang pasti, mereka percaya, bahwa leluhur mereka dan alam telah bersinergi dan telah membantu para suku Asmat untuk membangun rumah bujang ini – melalui bahan alam.
Hal unik lainnya, rumah ini tidak melibatkan paku sama sekali.
Mereka hanya mengandalkan tali rotan sebagai pengikat sambungan antar kayu dan struktur rangka rumah bujang itu sendiri.
BLOG PON XX PAPUA