PAPPRI Dorong Ekosistem Industri Musik Nasional Lebih Baik dan Berkelanjutan

Ketua Umum PAPPRI Tony Wenas - Foto Pingkan-DetikHot
Waktu Baca : 2 minutes

JAKARTA, TANHANANEWS.COM — Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) organisasi yang menaungi artis penyanyi, pencipta lagu dan pemusik di Indonesia merasa berkepentingan untuk menyikapi berbagai isu penting didalam ekosistem musik di Indonesia

Melalui keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, pada Senin, 17 Juli 2023, hal tersebut sebagai bentuk dukungan  PAPPRI terkait pelaksanaan tata kelola royalti musik yang tengah berlangsung dengan didukung peraturan-peraturan yang ada, sehingga ekosistem industri musik nasional akan berkembang secara baik dan berkelanjutan.

Dijelaskan juga bahwa PAPPRI mempertimbangkan secara hati-hati pernyataan sikap terkait yang telah diumumkan dan dipublikasikan oleh Wahana Musik Indonesia (WAMI), Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI), serta rapat-rapat, Focus Group Discussion (FGD) atau diskusi terpumpun yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DKJI) serta dengan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Setelah melakukan kajian hukum secara seksama atas Undang-undang No 28 tahun 2014 tentang Hak CIpta (UUHC) serta peraturan-peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah No 56 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan atau Musik, serta dengan memperhatikan norma kebiasaan dan pelaksanaan praktik yang sudah berlangsung dalam industri musik di Indonesia, PAPPRI menyatakan sikapnya sebagai berikut :

PAPPRI menyatakan bahwa upaya larang-melarang membawakan lagu dalam konser yang saat ini tengah merebak adalah tidak memiliki dasar hukum, sehingga bertentangan dengan Asas Kepastian Hukum, Keadilan serta Kemanfaatan berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

UUHC yang saat ini berlaku sebagai Hukum Positif merupakan peraturan perundangan yang ditujukan untuk membangun sebuah ekosistem berkelanjutan untuk pemajuan kreativitas makro Indonesia yang didukung perangkat peraturan pelaksanaannya, harus dibaca dan dipahami dalam konteks Remuneration Rights (hak mendapatkan imbalan) yang mengikat (mandatory) yaitu system lisensi khusus layanan publik komersial berupa pertunjukkan, pengumuman dan komunikasi ciptaan (performing rights), yang diformulasikan dalam konsep pengelolaan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dimana Pencipta, Pemegang Hak CIpta, Pemilik Hak Terkait diharuskan menjadi anggota LMK agar dapat menarik imbalan atau royalti sebagaimana tertuang di dalam bagian Penjelasan Umum HHHC.

Oleh karenanya tidak ada pasal dalam UUHC yang bertentangan ; Pasal 9 UUHC harus dibaca secara satu kesatuan menyeluruh dengan Pasal 87 dan Pasal 23 (5) UUHC untuk menghindari kerancuan.

Pasal 9 UUHC tentang hak ekonomi pencipta khususnya yang berkaitan dengan performing rights dilaksanakan secara kolektif melalui system ECL dalam konsep LMK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 UUHC; Pasal 87 (4) UUHC jelas menyatakan tidak dianggap sebagai pelanggaran Undang-undang ini, pemanfaatan ciptaan dan atau produk hak terkait secara komersial oleh pengguna sepanjang pengguna telah melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan LMK.

Sedangkan Pasal 23 (5) UUHC menyatakan bahwa setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta melalui LMK.

UUHC tidak hanya mengatur hak pencipta namun juga hak pelaku pertunjukan dan pengguna sebagai suatu ekosistem yang mana dalam pelaksanaannya memberikan jaminan perlindungan kepada pencipta secara eksklusif, tanpa mengurangi pembatasan, menghormati hak orang lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 (1) UUHC dan senafas dengan prinsip dalam konstitusi Undang-Undang Dasar (Pasal 28 (j)) dimana dalam menjalankan hak, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang untuk menjamin pernghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.

PAPPRI memintaa agar semua penyelenggara konser (event organizer) melakukan pembayaran royalti setiap konser melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dengan konsekuensi sanksi pidana dan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 UUHC jika tidak dilakukan pembayaran.

PAPPRI mengimbau agar semua pihak mendukung penuh pelaksanaan UUHC dan aturan pelaksanaannya untuk kepentingan bersama.

SUMBER: PAPPRI | EDITOR: EDDY PRASETYO