Penulis : ANDRIANUS PAO
“Ontran-ontran” kisruh di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, 8 Februari lalu, semakin memperkuat bukti kearifan lokal “bubar mawut” ketika orang atau pihak luar ikut “cawe-cawe”. Urusan “rumah tangga” yang sejatinya bisa diselesaikan secara internal, justru semakin runyam ketika orang atau pihak lain ikut-ikutan dengan segala motivasi di belakangnya.
Lalu, siapakah orang atau pihak luar itu? Yang pasti dia bukanlah penduduk setempat atau warga lokal. Dia datang dengan narasi seakan sebagai pihak yang mampu menyelesaikan persoalan yang terjadi di Desa Wadas. Motif-motif yang mengiringinya dia bungkus dengan rapi dan manis, seakan senafas dengan gejolak emosi warga di perbukitan Bener.
Sesuai namanya, Desa Wadas diberkahi sumberdaya alam berupa bebatuan andesit yang warga lokal menyebutnya batu “lemosoh” atau batu cadas .
Andesit di Desa Wadas merupakan batuan vulkanik hasil lelehan magma yang keluar ke permukaan bumi melalui rekahan atau sesar di batuan. Batuan vulkanik ini dikenal sangat bagus sebagai bahan bangunan, utamanya untuk bangunan pondasi. Belum diketahui pasti berapa besar potensi cadangan batuan andesit di Desa Wadas.
Namun berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, pada 2020 tercatat cadangan terkira batuan andesit di Indonesia mencapai 18,98 miliar ton. Dari data potensi itu, cadangan terbukti mencapai 262,7 juta ton.
Senyampang dengan potensi batuan andesit yang terbenam di Desa Wadas, tidak berapa jauh dari desa, terdapat proyek pembangunan Bendungan Bener di Desa Guntur, Kecamatan Bener, yang tak pelak sangat membutuhkan batuan andesit dalam jumlah besar.
Setidaknya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan bendungan, yang menelan investasi Rp. 2,06 triliun, pelaksana Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kabupaten Purworejo itu membutuhkan sedikitnya tujuh juta ton batuan andesit.
Proyek Bendungan Bener yang dibangun sejak akhir 2017 dan diperkirakan mampu menampung air hingga 100,9 juta meter kubik ini, dirancang dapat mengairi lahan seluas 1.940 hektare di Kabupaten Purworejo dan Kulon Progo, menyediakan air baku 1.500 liter per detik dan membangkitkan listrik tenaga air (PLTA) hingga 6 megawatt. Tak hanya itu, proyek yang didanai APBN dan APBD ini juga dibangun untuk mengatasi banjir, konservasi dan wisata air.
Melihat potensi cadangan batuan andesit di Desa Wadas dan besarnya kebutuhan proyek Bendungan Bener akan bahan bangunan tersebut, tak ayal tangan-tangan “pencari keuntungan” mulai menggerayangi desa yang semula adem tentrem itu.
Para juragan pemilik modal mulai bergentayangan untuk meraup cuan dari bisnis penambangan di lahan yang kelak dikuasai pelaksana proyek Bendungan Bener.
Memang, saat ini bisnis penambangan itu belum berjalan. Setelah disepakati nilai ganti untung, proses selanjutnya adalah pengukuran lahan milik warga yang setuju diambil alih. Namun, proses pengambilalihan lahan ini rupanya tak berjalan mulus.
Meski sebagian besar warga setuju, terdapat pula warga yang menolak tanah leluhur mereka diambil dan diubah menjadi lahan tambang. Di sini kemudian muncul isu lingkungan yang memperkeras penolakan.
Berdasarkan data yang beredar di media sosial, direncanakan sebanyak 617 bidang tanah seluas 124 hektare akan dibebaskan di Desa Wadas untuk penambangan batuan andesit. Dari jumlah itu, sebanyak 346 bidang tanah disetujui oleh warga untuk diambil alih. Sedangkan 98 bidang tanah menolak dan 173 bidang tanah belum memutuskan sikap, menolak atau setuju diambil alih.
Kisruh pengambilalihan tanah di Desa Wadas meletup sejak Maret 2018. Diawali unjuk rasa warga yang menolak, ketika pada saat yang sama warga yang setuju tengah mengikuti sosialisasi pengambilalihan lahan, di Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSO) Yogyakarta.
Pada Juni 2021, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengeluarkan SK Nomor 590/20 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo, yang sontak digugat warga ke PTUN Semarang.
Namun tuntutan warga yang tergabung dalam Gerakan Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) ini ditolak. Akhirnya, pada September 2021, warga yang menolak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang hingga kini belum ada putusannya.
Selain menempuh jalur hukum, warga yang menolak tambang batuan andesit di Desa Wadas juga terlibat konflik dengan aparat Polri dan TNI. Setidaknya ada dua kali bentrokan di antara kedua pihak, yang berujung tindak kekerasan dan penahanan pada Februari 2022. Sebanyak 78 warga ditahan semalam di Mapolres Purworejo, karena menolak pengukuran lahan oleh BPN pada 8-10 Februari.
Menilik benang merah dan rentetan kasus di Desa Wadas ini, sejatinya persoalan utamanya adalah kurangnya komunikasi di antara pemangku kepentingan. Akibatnya, orang atau pihak luar pun dengan leluasa masuk dan mencoba mencari keuntungan dan peluang di tengah kekisruhan.
Warga desa, terutama yang menolak, seperti mendapatkan angin segar, sehingga mereka pun berani berunjuk rasa dan menggugat ke pengadilan. Mereka tak sadar persoalan ternyata tak kunjung selesai, bahkan berujung bentrokan dengan aparat, sementara tali persaudaraan dan silaturahmi sesama warga sudah berada di tubir jurang perpecahan.
Pemerintah daerah, baik kabupaten maupun provinsi, sejauh ini lebih mengkalkulasi dampak politisnya ketimbang kesejahteraan sosialnya. Maka tak ayal, buntut kisruh awal Februari lalu berujung cercaan kepada bupati yang berasal dari partai politik tertentu dan kepada gubernur yang sibuk menapaki pilpres 2024.
Minimnya peran pemerintah pusat — Bendungan Bener adalah proyek Pusat — dan pemerintah daerah, membuat kiprah Komnas HAM di Desa Wadas seperti berada di garda depan.
Aksi turun lapangan DPR pun sudah terlambat. Mereka lebih sibuk mempersoalkan aksi kekerasan aparat kepolisian, ketimbang mencari dan memberikan solusi yang dapat diterima semua pihak. Sementara anggota dewan terpilih yang berasal dari Dapil Jateng VI (Kab. Temanggung, Wonosobo, Purworejo, Magelang dan Kota Magelang) nyaris tak terdengar kiprahnya apalagi suaranya. Kemana mereka?
Langkah Gubernur Ganjar turun menemui warga sudah benar dan perlu dipersering. Gubenur sebagai “bapak warga” hendaknya meluangkan waktu lebih dan mengambil alih sepenuhnya kendali penanganan persoalan yang ada di Desa Wadas.
Hilangkan pendekatan keamanan, tampung keluhan, pendapat, dan solusi yang diajukan warga yang setuju maupun yang menolak. Suara mereka lebih berarti dan genuin, ketimbang derau orang atau pihak luar yang hanya ramai ketika mendapat sorotan dan menghilang ketika tak lagi “menguntungkan” dan sorotan meredup.
Pertimbangkan gagasan bisnis tambang batuan andesit, pasca pemenuhan kebutuhan Bendungan Bener, tetap berada di tangan warga Desa Wadas melalui BUMDesa yang membuat usaha patungan dengan BUMN atau pengusaha swasta.
Ganti untung atas lahan mereka bisa dalam bentuk nominal dan saham kepemilikan BUMDesa. Kelak, profit dari usaha patungan bisa untuk membangun sarana dan prasarana desa, sementara dividennya bisa turut menyejahterakan warga terdampak.
Kota Bekasi, 14022022
Penulis adalah Jurnalis Senior