16 ‘Bergada’ Kirab Budaya Meriahkan Peringatan 192 Tahun Kabupaten Purworejo

Bupati Purworejo RH Agus Bastian SE MM dengan ibu Fatimah Verena Prihastiyari SE berada di kereta terdepan iring-iringan kirab budaya peringatan hari jadi ke 192 Kabupaten Purworejo, Senin (27/2/2023)- Foto : Pemkab Purworejo
Waktu Baca : 2 minutes

JAKARTA, (TANHANANEWS) — Peringatan hari jadi ke 192 Kabupaten Purworejo dimeriahkan dengan sebanyak 16 pasukan Kirab Budaya Bergada perwakilan dari 16 kecamatan se kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah.

Kirab yang semua pesertanya memakai pakaian adat Jawa itu, dilepas oleh Bupati Purworejo RH Agus Bastian SE MM, di jalan RAA Tjokronegoro depan Pendopo, Kabupaten Purworejo, pada Senin (27/2/2023).

Dalam kirab yang menempuh rute sejauh lebih kurang 5 kilometer, Bupati Purworejo RH Agus Bastian SE MM dengan ibu Fatimah Verena Prihastiyari SE berada di kereta terdepan iring-iringan yang diikuti Kepala Perangkat Daerah dan para Camat yang menunggang kuda termasuk puluhan prajurit yang mengiringi.

Bupati Agus Bastian mengungkapkan, kirab budaya ini sebagai wujud dari kepedulian kita untuk bergembira bersama-sama merayakan ulang tahun Kabupaten Purworejo.

Selain bertujuan untuk nguri-uri budaya, diharapkan dapat menginspirasi daerah lain untuk melakukan kegiatan seperti ini.

“Antusias warga masyarakat sangat luar biasa,” ungkapnya.

Sejarah dan Asal-usul Kabupaten Purworejo

Menurut sejarah, nama Purworejo baru muncul pada abad ke-19, ketika Karesidenan Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, salah satunya Kadipaten Purworejo, dikutip dari KOMPAS, (10/2/2022).

Raden Tumenggung Cokrojoyo kemudian diangkat sebagai bupati pertama Purworejo dan mengganti namanya menjadi Raden Adipati Arya (RAA) Cokronegoro.

Perubahan nama itu terjadi pada 27 Februari 1831, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Lahir Kabupaten Purworejo.

Purworejo beraasal dari dua kata, yaitu Purwo yang berarti awal, terdepan, atau maju dan Rejo yang artinya makmur.

Sehingga, arti Purworejo adalah daerah yang mengawali untuk maju, unggul dalam berbagai bidang, serta menjadi masyarakat yang makmur dan mulia.

Wilayah Purworejo diketahui sudah ditinggali oleh penduduk sejak 901. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya Prasasti Kayu Ara Hiwang di Desa Boro Wetan.

Pada prasasti tersebut, diketahui bahwa pada 5 Oktober 901, dilakukan upacara besar yang diikuti oleh para pejabat dari berbagai daerah.

Mereka adalah Watu Tihang (Sala Thang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mntyasih (Matesh Magelang), Mdang, Pupur, Raji (Raji Prambanan), dan Kalungan (Kalongan).

Kala itu, wilayah Purworejo masih disebut Bagelen, yang sangat disegani wilayah lain karena ditinggali oleh banyak tokoh besar.

Contohnya seperti Sunan Geseng, ulama besar yang mengislamkan wilayah dari Timur Lukola hingga ke Yogyakarta dan Magelang.

Pada masa Kerajaan Mataram Islam, para tokoh Bagelen adalah pasukan dari Sutawijaya, yang kemudian berkuasa dengan gelar Panembahan Senopati.

Kemudian, pada masa Perang Diponegoro (1825-1830), wilayah Bagelen menjadi salah satu medan pertempuran.

Pada saat itu, Bagelen dijadikan karesidenan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Dalam perkembanganya, Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, salah satunya Kadipaten Purworejo, dengan bupati pertamanya RAA Cokronegoro.

Pada 1936, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menggabungkan Kadipaten Purworejo, Kutoarjo dan sebagian wilayah Urut Sewu/Ledok, menjadi Kabupaten Purworejo.

Kota Purworejo sejak itu menjadi kota tangsi militer yang diisi oleh tentara Belanda dan tentara Afrika Barat, yang dikenal sebagai Belanda Hitam.

Mereka semua tinggal di wilayah Purworejo.

Saat ini Kabupaten Purworejo memiliki wilayah sebanyak 16 Kecamatan yaitu, Kecamatan Bagelen, Kecamatan Banyuurip, Kecamatan Bayan, Kecamatan Bener, Kecamatan Bruno, Kecamatan Butuh, Kecamatan Gebang.

Kemudian Kecamatan Grabag, Kecamatan Kaligesing, Kecamatan Kemiri, Kecamatan Kutoarjo, Kecamatan Loano, Kecamatan Pituruh, Kecamatan Purwodadi, Kecamatan Purworejo dan Kecamatan Ngombol.

SUMBER : PEMKAB PURWOREJO – KOMPAS | EDITOR : EDDY PRASETYO