Tahukah Makna Idiomatis Kata Lara ‘Sakit’ Dalam Bahasa Jawa?

Penulis: Wiwin Erni Siti Nurlina dan Riani adalah periset pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) - Foto : Koleksi Pribadi
Waktu Baca : 3 minutes

Penulis: Wiwin Erni Siti Nurlina dan Riani *)

Dalam berinteraksi dan berkomunikasi, manusia juga menggunakan ungkapan yang memiliki makna kias. Penggunaan bahasa figuratif ini didorong oleh motivasi bertutur dan tuntutan daya kreatif manusia. Begitu pula bahasa Jawa, dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Jawa masih dipergunakan sebagai alat komunikasi masyarakat Jawa yang kaya akan bentukan bahasa figuratif dengan berbagai makna kiasnya. 

Motif dibentuknya kosakata bermakna kias itu dapat memiliki  tujuan untuk mengatasi kekurangan leksikon, serta mengkonkritkan sesuatu yang abstrak. Jika setiap unit semantik diwadahi dalam bentuk leksem, jumlahnya bisa sangat banyak. 

Di dalam masyarakat Jawa, banyak terdapat pembentukan kosakata yang mengemban makna budaya. Ada yang dikatakan sebagai kata netral dan kata budaya. Berkaitan dengan itu, dapat dikatakan bahwa. Budaya terceritakan melalui bahasa. Keragaman budaya dapat diketahui dari bahasa sebagai alat representasinya. Mari kita tengok kata lara yang bermakna ‘sakit’, dalam bahasa Jawa. Ternyata kata, lara memiliki banyak makna setelah bergabung dengan kata yang dapat dipasangkannya, seperti kata lara blonyo, lara setu. Kata lara  pada lara blonyo dan lara setu tersebut tidak memiliki makna sakit.

Penggabungan kata-kata tersebut merupakan kata majemuk yang memiliki makna idiomatis. Biasanya, kata-kata idiomatis digunakan sebagai istilah. Makna idiomatis adalah makna yang ditimbulkan tidak sama dengan gabungan makna unsurnya. Dengan kata lain, bentuk kata idiomatis menimbulkan makna baru setelah terjadi penggabungan kata.

Berbeda dengan bentuk gabung lara yang membentuk frasa, bentuk gabung  tersebut masih memiliki makna leksikal pada unsur-unsurnya, seperti kata lara flu ‘sakit flu’, lara gudigen ‘sakit korengan’, lara mangsur ‘sakit diare ’, lara bidure‘sakit gelegata’, lara hepatitis‘sakit hepatitis’, lara watuk ‘sakit batuk’ lara uyang ’sakit demam’ dan lain sevafainya.

Kata lara pada bentuk frasa hanya memiliki satu makna yaitu ‘sakit’. Di samping itu, kata lara, juga memiliki bentuk turunan, seperti dilarani ‘disakiti’, nglarani ‘menyakiti’, nglarakake ‘menyakitkan’, lara-laranen ‘sakit-sakitan’, pilara‘dibuat sakit’.

Pembicaraan di sini berfokus pada gabungan kata lara yang berupa kata idiomatis, yang mengemban makna budaya masyarakat Jawa. Ada beberapa bentuk idiomatis dalam bahasa Jawa yang menggunakan kata lara. Bentuk idiomatis itu berupa kata majemuk, yang telah menjadi istilah dan digunakan oleh masyarakat Jawa. Kata-kata majemuk tersebut yaitu sebagai berikut.

Bentuk  lara ati berasal dari kata lara ’sakit’ dan ati ’hati’.  Secara idiomatis memiliki makna ‘sakit hati, ’. kata ati ‘hati’ di sini mengacu kepada perasaan, bukan bagian tubuh yang bernama hati. Penyebab lara ati bermacam-macam, bisa dikarenakan kesedihan, kejengkelan, kegagalan, dendam. Sering juga  kata lara ati digunakan dengan akhiran {-e} menjadi bentuk lara atiné maknanya bersinonim dengan kata serik ’rasa benci karena perasaannya tersakiti’. Kata larajuga digunakan pada syair lagu Kalung Emas (Didi Kempot) yang berbunyi: Lara atiku, atiku kelara-lara .’sakit hatiku, hatiku tersakiti’. Secara umum istilah lirik tersebut bermakna ‘perasaanku merasa sakit karena perasaanku telah tersakiti/disakiti seseorang’.

Dalam khazanah bahasa dan budaya Jawa, terdapat dua istilah yang merujuk pada konsep jatuh cinta atau asmara, yaitu lara branta dan lara wuyung. Kedua istilah ini menggambarkan perasaan cinta yang mendalam dan kompleks, dengan nuansa dan makna yang berbeda-beda tergantung pada konteks dan penggunaannya. Dalam Kamus Bahasa Jawa-Indonesia istilah lara branta bermakna ’susah karena kasmaran’; istilah  lara wuyung bermakna ’kasmaran’. Contoh dalam kalimat: Wong kang nandhang lara branta kui, mangan ora enak, turu ora penak ‘Orang yang sedang kasmaran itu, makan tidak merasa enak, tidur tidak nyenyak’.

Untuk konteks perjuangan dan pengorbanan, dalam bahasa Jawa ada istilah  lara lapa yang memiliki makna mendalam dan kompleks tentang perasaan susah payah dan kesulitan. Istilah ini juga dapat diartikan sebagai ‘merasa sakit dan lapar, baik secara fisik maupun mental’. Selain itu, istilah lara lapa juga dapat merujuk pada konsep menanggung bersama semua penderitaan, menunjukkan empati dan solidaritas dalam menghadapi kesulitan.

Dengan demikian, kata ini menjadi simbol ketabahan dan kekuatan dalam menghadapi tantangan hidup. Dalam bahasa Jawa, kata lapa bermakna ‘lapar’. Ada lagi, kata lara yang bergabung dengan kata ireng ‘hitam’ menjadi lara ireng bermakna‘candu; kata lara yang bergabung dengan kata kudan menjadi lara kudan  memiliki makna ‘senapan’. kata lara yang bergabung dengan kata ayu ‘cantik’ menjadi lara ayu  memiliki makna ‘sakit cacar

Selain makna yang terkait dengan perasaan dan emosi, kata lara dalam bahasa Jawa juga dapat digabungkan dengan kata lain untuk membentuk istilah yang memiliki makna berbeda. Contohnya, lara dapat digabungkan dengan kata béntrok untuk merujuk pada nama tembang, menjadi lara béntrok yang merupakan judul tembang gede dalam tradisi karawitan Jawa.

Kata lara juga dapat digabungkan dengan kata ngendhat menjadi lara ngendhat bereferensi nama bunga. Kata lara yang digabungkan dengan kata setu/wastu menjadi lara setu atau lara wastu  bermakna ‘nama jenis rumput’. Bahkan, gabungan kata lara  dengan kata kata blonyo , menjadi kata idiomatis lara blonyo yang merupakan salah satu nama arca yang terkenal di masyarakat Jawa. Berikut contoh gambaran patung lara blonyo. Istilah  lara blonyo ialah  jenis arca kayu berupa sepasang pengantin berbaju adat Jawa. Arca tersebut melambangkan keharmonisan dalam hubungan suami istri.

Gambar Patung Lara Blonyo

Kata lara, yang dibentuk dengan gabungan kata yang lain untuk menjadi istilah yang bersifat idiomatis seperti yang diuraikan di atas, menunjukkan fleksibilitas dan kekayaan leksikon bahasa Jawa dalam mengungkapkan makna dan konsep yang kompleks dan mendalam. Dengan pembentukan gabungan tersebut, bahasa Jawa dapat mengekspresikan perasaan, pengalaman, dan realitas kehidupan dengan cara yang unik dan kaya akan makna.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata lara menjadi bagian penting dalam membentuk identitas budaya dan linguistik Jawa karena kaya akan makna dan nuansa yang terkait dengan perasaan, emosi, dan pengalaman manusia. Melalui penggunaan kata lara, masyarakat Jawa dapat mengekspresikan perasaan dan pengalaman dengan cara yang unik dan kaya akan makna. Dengan demikian, kata lara menjadi salah satu simbol kekayaan budaya dan linguistik Jawa yang patut dilestarikan.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

*) Penulis adalah periset pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)