Kenaikan Harga Beras, Dampak Dari Dibiarkannya Konglomerasi

Foto : Grafik Ilustrasi
Waktu Baca : 3 minutes

Penulis: Lukman Hakim *)

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian berulang kali menyampaikan klaim bahwa cadangan beras nasional mencapai empat juta ton, angka yang disebut sebagai rekor tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Pernyataan ini seharusnya menjadi kabar baik bagi rakyat, karena logikanya ketersediaan yang melimpah akan menekan harga. Namun realitas di pasar berbicara sebaliknya.

Harga beras terus merangkak naik, melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, dan per Juli 2025 kenaikannya sudah mencapai kisaran tujuh hingga lima belas persen di semua zona. Ironi ini mengundang pertanyaan fundamental: jika stok memang cukup, mengapa harga tetap mencekik?

Jawaban atas pertanyaan ini bukan terletak pada angka cadangan semata, tetapi pada rusaknya struktur distribusi dan tata niaga beras nasional. Teori klasik supply-demand Adam Smith menyatakan bahwa harga dipengaruhi oleh ketersediaan barang dan permintaan pasar, namun dalam konteks beras Indonesia faktor distribusi dan kartelisasi jauh lebih menentukan.

Cadangan empat juta ton tidak berarti apa-apa jika penyaluran tidak transparan, jika sebagian stok tersedot untuk kepentingan korporasi besar, atau jika jalur distribusi dikuasai segelintir pelaku dengan akses eksklusif terhadap beras impor Bulog.

Fenomena ini diperparah oleh praktik oplosan beras yang sedang diselidiki Satgas Pangan. Kasus ini bukan sekadar skandal mutu, tetapi menyingkap jantung masalah: akses terhadap stok impor dan SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) yang hanya dimiliki segelintir pemain besar.

Di saat pemerintah mengumandangkan surplus, para penggilingan kecil menengah justru mati pelan-pelan karena tidak mampu memperoleh gabah dengan harga layak. Akibatnya, rantai produksi lokal terputus, petani kehilangan pasar, dan konsumen terjebak dalam mekanisme pasar yang dikendalikan kartel.

Kita bisa merujuk pada teori ketergantungan (dependency theory) yang dikemukakan oleh Andre Gunder Frank: negara berkembang sering terjebak dalam ketergantungan struktural kepada segelintir elite ekonomi yang mengontrol sumber daya vital.

Dalam kasus Indonesia, ketergantungan itu terlihat jelas pada sektor pangan: koperasi dan penggilingan rakyat tersingkir, sementara korporasi besar memonopoli impor, pengemasan, hingga distribusi ritel. Pemerintah secara tidak langsung memelihara ketergantungan ini melalui kebijakan relaksasi HET dan pembiaran akses impor yang timpang.

Ancaman terbesar yang luput dari sorotan publik adalah proyeksi ke depan. Memasuki Agustus hingga akhir tahun 2025, tren harga beras diperkirakan akan terus naik. Data panel harga pangan nasional mencatat kenaikan konsisten sepanjang kuartal kedua, dan jika tidak ada intervensi struktural, lonjakan ini akan berlanjut hingga melewati masa panen berikutnya. Faktor eksternal seperti pembatasan ekspor beras dari India dan Vietnam akan memperparah situasi, sementara faktor internal seperti tutupnya penggilingan lokal akan memutus suplai gabah domestik. Kombinasi ini menciptakan badai sempurna bagi inflasi pangan.

Krisis ini tidak bisa disederhanakan sebagai isu mutu atau sekadar skandal oplosan. Ia adalah krisis sistemik yang mengancam fondasi kedaulatan pangan nasional. Pasal 33 UUD 1945 dengan jelas mengamanatkan bahwa cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Namun dalam praktiknya, negara gagal menegakkan amanat itu. Negara hadir ketika mengumumkan surplus, tetapi absen ketika harga terus naik. Negara cepat menindak pelaku kecil, tetapi lamban mengungkap jaringan besar di balik distribusi beras.

LAKPAN memandang bahwa persoalan utama bukan hanya pada siapa yang mengoplos beras, tetapi mengapa harga tidak pernah turun meski stok dinyatakan melimpah. Pertanyaan ini menyentuh akar masalah: kartelisasi distribusi, ketergantungan pada impor, dan pembiaran terhadap matinya penggilingan rakyat. Tanpa reformasi menyeluruh, seruan kedaulatan pangan hanya akan menjadi slogan kosong yang menutupi penderitaan jutaan rumah tangga Indonesia.

Karena itu, seruan untuk menurunkan harga beras bukan sekadar tuntutan ekonomi, melainkan panggilan konstitusional untuk mengembalikan hak rakyat atas pangan yang layak dan terjangkau. Negara wajib membongkar kartel pangan, mengaudit distribusi cadangan nasional, dan mengembalikan kendali industri beras ke tangan koperasi petani serta penggilingan lokal. Inilah langkah mendesak yang, jika tidak segera diambil, akan menjadikan krisis beras 2025 sebagai bukti paling telanjang dari kegagalan negara menjaga perut rakyatnya sendiri.

Sumber: Prof Saiful

*) Penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal PP PPM – LVRI dan Ketua Tim Patriot Pangan PPM – LVRI