Menjaga Profesionalisme Pers di Ranah Privasi

Ilustrasi - Istimewa
Waktu Baca : 6 minutes

Oleh: Emerson Tarihoran

BEBERAPA hari terakhir, pemberitaan tentang anggota DPRD Kota Batam berinisial AT kembali diangkat sebagai topik hangat di sejumlah media, terutama media siber. Sangat disayangkan, karena profesionalisme jurnalis mulai tergadai oleh kepentingan sensasional dan cenderung murahan.

Berawal dari pengaduan CP, wanita yang mengaku diselingkuhi AT, datang ke Kantor DPRD Kota Batam untuk mengadukan AT pada Kamis, 2 September 2021. Menurut CP, Badan Kehormatan (BK) DPRD Kota Batam menjadi satu-satunya harapan untuk menggugat dan mengadukan tindakan AT terhadap dirinya. Dia membawa surat dan bukti yang menyatakan dirinya memiliki hubungan dengan AT. Sebelumnya, Selasa, 31 Agustus 2021, CP mengakui dirinya selingkuh bersama AT. Pengakuan itu dipublikasi di media siber www.pelitatoday.com. ”Saya bisa buktikan bahwa saya adalah istri simpanan dia (AT) selama 2 tahun ini. Kalau dia mengelak,” ucap CP kepada pers. 

Sebagai wartawan yang terikat pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ), harus menyadari bahwa dirinya, dalam menulis dan memublikasi berita, harus berpedoman terhadap undang-undang dan KEJ. Pada pasal 2 KEJ dinyatakan: ”Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.” Salah satu cara profesional yang dimaksud yaitu ‘menghormati hak privasi.’ Hak privasi atau hak pribadi umumnya dipahami menyangkut soal rumah tangga, kematian, sakit, atau kelahiran. Di beberapa negara lain, soal agama bisa dimasukkan ke dalam hak privasi. Bahkan, dari sejumlah kasus, persoalan internal perusahaan swasta juga bisa digolongkan privasi.

Keharusan pers menghormati hak privasi bukan berarti pers sama sekali dilarang memberitakan kehidupan pribadi. Sepanjang kasus privasi tersebut dinilai menyangkut kepentingan publik, pers dibenarkan mengungkapnya. Menurut Atmakusumah Astraatmadja, yakni seorang tenaga pengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), saat ini sering muncul kritik terhadap pers karena dianggap terlampau berlebihan dalam memberitakan hak privasi. Kontras terlihat ada kepentingan praktis yang mendasari wartawan mengungkap ranah pribadi secara bombastis.

Mari kita melihat kasus CP dengan AT yang dipublis secara berlebihan di media, khususnya www.pelitatoday.com. Media tersebut menempatkan CP sebagai korban AT, yang dalam sejumlah pemberitaan disebut bahwa CP minta keadilan kepada institusi BK DPRD Batam. Sebagai wartawan profesional, apakah tidak punya kepekaan terhadap masalah yang sedang disorotnya? Jika CP sendiri sejak awal mengaku berselingkuh dengan AT, artinya CP mengakui bahwa dirinya sudah melakukan perbuatan tercela, yakni penyelewengan. Apakah wartawan profesional tidak menyadari bahwa CP telah memanfaatkan media untuk mendapat imbalan yang bukan haknya? Haruskah wartawan turut berjuang mendapatkan dukungan lembaga resmi, seperti DPRD, bagi seorang wanita dewasa yang dengan sadar memilih peran sebagai istri simpanan?

Lalu, apakah naluri seorang wartawan sudah padam, sehingga tidak memperhatikan hati nurani istri AT, anak-anak AT, dan bahkan keluarga besar AT yang dibully masyarakat di sekitarnya akibat terkuaknya hubungan CP dengan AT? Lebih muliakah tuntutan seorang wanita yang telah memiliki anak di luar nikah, serta sering gonta-ganti pasangan, daripada seorang istri yang setia mendampingi suaminya, dan bersedia memaafkan suaminya, meski telah melakukan kesalahan? Ke manakah dibuang pertimbangan akal sehat seorang pekerja jurnalistik, ketika yang diumbar adalah sensasi murahan, yang belum tentu juga terjadi seperti yang dibayangkan oleh penulis berita.

Dalam berita berjudul: Legal Advisor Carolein Parewang: ”Amoral Dibawah Sumpah,” yang diterbitkan www.pelitatoday.com, wartawan menulis: ”Yang mana, AT oknum anggota DPRD Kota Batam menebar janji semanis madu menjadikan CP sebagai isteri. Dengan tebar pesona janji surga tersebut, maka terjadilah derit ranjang dan getar tektonik birahi ATCP layaknya bagaikan suami isteri. Selama lebih kurang 2 (dua) tahun AT berenang dan mendayung sampan CP dalam gelombang ombak birahi amoral. Sementara diketahui bahwa AT adalah seorang yang terhormat yang duduk dalam lembaga negara terhormat tingkat daerah kota dibawah sumpah atas nama Tuhan.

Jika ada bukti bahwa AT berjanji akan menikahi CP, kenapa pula CP tidak menuntut secara hukum, sehingga haknya sebagai wanita yang ingin memiliki suami sah, dipenuhi lewat jalur hukum yang memaksa. Bukan malah memilih berbuat selingkuh dan bertindak sebagai istri simpanan. Pengakuan yang kontradiktif, jika AT benar-benar memberi hati untuk menikahi CP. Di mana akal sehat seorang wartawan, sehingga lebih mengedepankan pikiran cabul daripada kesadaran moral dan etika? 
Narasi seperti: ”Maka terjadilah derit ranjang dan getar tektonik birahi ATCP layaknya bagaikan suami isteri. Selama lebih kurang 2 (dua) tahun AT berenang dan mendayung sampan CP dalam gelombang ombak birahi amoral.” Bukankah sudah terlalu jauh seorang wartawan menggambarkan peristiwa yang belum tentu terjadi, dengan narasi cabul dengan watak menghakimi (judge) perbuatan orang lain tanpa adanya fakta atau bukti, serta tidak ada upaya mendapatkan informasi secara berimbang (both side cover)?

Kembali Atmakusumah Astraatmadja menyebut: ”Saya sudah lama mengumpulkan contoh-contoh hak privasi yang sering dilanggar oleh media pers kita. Tetapi, yang paling mencolok dan menimbulkan saya terkejut adalah ketika ada pemberitaan tentang hubungan intim antarmahasiswa IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) dan antara beberapa dosen IPDN dan mahasiswanya. Jumlah hubungan intim itu, kalau dari pemberitaan, sedikit sekali. Saya terkejut karena agaknya pers terbawa arus banyaknya pemberitaan tentang kekerasan di IPDN. Padahal keduanya lain dan harus dibedakan. Kekerasan sesama mahasiswa bisa dianggap kejahatan. Tapi, ketika
ada desas desus terjadinya hubungan intim antara mahasiswa dan mahasiswa atau antara mahasiswa dan dosen, itu bukan kekerasan tapi privasi.

Sebuah peristiwa privat yang bukan dilakukan di hadapan publik, bukan menggunakan ruang publik, bukan pula menggunakan uang publik, dan tidak merugikan publik, karena masalah CP dengan AT murni masalah privat. Berbeda halnya, jika istri AT yang melaporkan suaminya, keluarga AT berantakan dan menjadi sorotan publik, atau AT menyelewengkan dana yang seharusnya diperuntukkan bagi konstituennya, tetapi dialihkan untuk biaya CP karena perselingkuhan. Kasus seperti itu, bisa dimasuki pers karena telah merugikan hak-hak publik.

Di dalam KEJ, pasal 9 disebut: Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Penafsirannya adalah (a) Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. (b) Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik. Narasumber yang dimaksud bukan saja CP yang dengan bangga membeberkan aib-nya kepada publik, tetapi ada juga satu sisi yang juga merupakan narasumber di sisi lain, yakni AT. Jika CP, karena telah terbiasa mengumbar aib, membuka dengan hiperbolik seluruh penyelewengannya, maka pers yang perlu arif untuk menyeleksi atau melakukan filter informasi sejauh mana informasi yang berguna serta yang menjadi hak publik. 

Ada AT yang masih memiliki dan menghargai ruang privat yang perlu dihormati. AT juga merupakan nara sumber dalam kasus tersebut, yang privasinya perlu dijaga dan dihormati. Jika tidak demikian, maka pers telah mengkhianati fungsinya sebagai menghormati hak azasi manusia (HAM) dan menghormati kepentingan publik. Apalagi, di pasal 1 KEJ disebut: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Narasi seorang wartawan dengan bahasa tidak bermutu, seperti: ”Maka terjadilah derit ranjang dan getar tektonik birahi ATCP layaknya bagaikan suami isteri. Selama lebih kurang 2 (dua) tahun AT berenang dan mendayung sampan CP dalam gelombang ombak birahi amoral,” tidak berbeda dengan roman picisan karangan Enny Arrow, yang biasa dicetak stensil pada era awal Orde Baru. Di mana kala itu, pendidikan masyarakat masih amat terbatas, serta banyak pekerja kasar tak berpendidikan yang doyan menyukai cerita fiksi mesum.

Sangat mengherankan, karena karya jurnalistik yang memalukan seperti tulisan di atas, masih saja muncul di saat bangsa ini telah memiliki UU nomor 40 tentang Pers, ada KEJ, serta Dewan Pers yang mengawal dinamika pers. Padahal, pada pasal 3 KEJ disebut: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Penafsirannya adalah: (a) Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. (b) Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. (c) Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. (d) Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Satu lagi yang dilanggar dalam tulisan tersebut di atas, yakni pasal 4 KEJ, yang menyebut: ”Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Penafsirannya (a) Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. (b) Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. (c) Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. (d) Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. (e) Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Kuatnya pengaruh karya jurnalistik dalam membentuk asumsi hingga ‘post thruth’ di tengah masyarakat, harus dikawal oleh rambu-rambu undang-undang, kode etik, serta kompetensi yang mumpuni. Bukan sekadar menulis tanpa pertimbangan profesionalitas, malah menjurus pada kepentingan sesaat, yakni sekadar benefit sesaat alias ‘uang receh,’ sehingga tidak muncul peristiwa-peristiwa yang merugikan, seperti dilaporkan sebagai tindak pidana pemerasan ke pihak kepolisian.

Seorang anggota Dewan Pers, Wina Armada Sukardi, mengisahkan: ”Masih sering ditemui orang memanfaatkan profesi wartawan untuk kepentingan penipuan, menakut-nakuti narasumber, atau cuma untuk gagah-gagahan. Modus pemerasan berkedok profesi wartawan paling sering dijumpai. Orang mengaku wartawan hanya untuk memuluskan niat jahat memeras orang lain.” Fakta itu ia temukan, karena diawali dengan pelanggaran-pelanggaran kode etik, tidak memahami rambu-rambu jurnalistik, sehingga sering terperangkap dalam upaya jahat untuk sekedar mencari keuntungan sempit alias memeras objek.

Kita berharap, jangan lagi ada kasus wartawan yang terperangkap pada kepentingan sempit, seperti diberitakan TribunBatam pada Selasa, 13 Desember 2016, yang berjudul: Dua oknum wartawan media online detiknewsocean.com. diamankan polisi setelah diduga melakukan tindak pemerasan kepada pemilik Hotel Kuning, Amat Tantoso. Tersangka adalah SA dan Pineop Siburian. Mereka diduga melakukan pemerasan pada Senin (5/12/2016) dengan cara mengancam pemilik hotel dan akan memberitakan persoalan Hotel Kuning yang diduga melanggar aturan.

Kapolda Kepri Brigjend Pol Sam Budigusdian saat ekspos perkara itu di Mapolda Kepri, Selasa (13/12/2016) siang menjelaskan, informasi pemerasan itu didapatkan saat pihaknya sedang sibuk mengevakuasi korban pesawat jatuh Sky Truck di Perairan Dabo, Lingga. ”Saat kita sedang sibuk-sibuknya melakukan evakuasi sky track, kita dapat informasi pukul 17.00 WIB dari masyarakat ke tim Saber pungli adanya dugaan pemerasan,” ujarnya.

Sam menceritakan, sore itu kedua pelaku yang sedang berada di Warung Kopi Empang Greenland, Batam Centre. Mereka meminta agar Amat Tantoso memberikan sejumlah uang. Uang tersebut sebagai barter agar berita mengenai Hotel Kuning dicabut dari portal media berita mereka juga dari media sosial facebook. ”Hotel Kuning ini kita sudah sama-sama tahu persoalannya sudah lama, dan ranahnya ada di Pemko Batam. Tersangka ini minta uang Rp20 juta kepada korban, agar berita soal Hotel Kuning bisa dihapus. Alasan tersangka untuk uang operasional medianya, ada 15 anggota di medianya,” tutur Sam. Kini kedua orang telah bebas setelah menjalani hukuman penjara.

Inilah dampak wartawan yang tidak memegang teguh kode etik, serta standar kompetensi dalam mengangkat tema-tema di tengah masyarakat. Kasu pencolong uang rakyat dibiarkan berseliweran di depan mata, namun ruang privat yang mengasah otak cabul dibesar-besarkan demi sensasi dan benefit sesaat. Rekan-rekan wartawan yang ingin membangun bangsa, hentikanlah praktik seperti itu. Mari kita bangkit untuk membangun akal sehat. 

Emerson Tarihoran
Wartawan Senior bermukim di Batam.