Penulis : Dra. Wiwin Erni Siti Nurlina, M.Hum
Bahasa merupakan cermin masyarakat yang menggunakannya (Kartomihardjo, 1988). Demikian pula dengan kota Yogyakarta (sebut saja DIY) yang memilki sebutan sebagai kota pendidikan.
Dalam kaitannya dengan mendidik masyarakat, di Yogyakarta(sementara kota yang diamati), sering dilakukan penulisan/pengekspresian bahasa pada spanduk (kain rentang) yang dipasang di tempat umum yang strategis untuk dibaca orang.
Melalui bahasa yang yang dituliskan pada kain rentang itu dapat disampaikan pesan-pesan sebagai wahana pendidikan. Dengan kata lain, bahasa yang dituliskan pada kain rentang itu berupa tuturan yang memiliki pesan-pesan pendidikan.
Ungkapan yang tertulis pada spanduk menjelang masa ibadah puasa Ramadan dan masa lebaran merupakan fenomena kebahasaan di masyarakat, yang dapat dikatakan sebagai fenomena sosial.
Fenomena tersebut mempunyai beberapa tujuan, yaitu penyampaian informasi, ajakan untuk bertindak/bersikap, dan pemberian rasa keamanan.
Tuturan tersebut dapat digunakan untuk menjaga kesantunanbermasyarakat dan ketenangan serta ketenteraman masyarakat dalam suatu waktu ketika daerah yang bersangkutan dalam suatu peristiwa.
Dalam kaitannya dengan tuturan yang tertulis di spanduk, ada peristiwa yang ikut berpartisipasi dalam mendidik masyarakat melalui budaya tulisan pada kain rentang.
Peristiwa tersebut ialah peristiwa saat menjelang puasa Ramadan yang terangkai dengan peristiwa Idul Fitri (masa lebaran). Fenomena bahasa pada kain rentang itu terpasang menjelang Ramadan sampai lebaran itu usai.
Peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang dirasa lebih membutuhkan ketenteraman dan kesantuntan dalam masyarakat. Di samping itu, tuturan itu juga memiliki berbagai maksud.
Pada intinya, tulisan itu bermaksud memberikan pemahaman pada masyarakat untuk memahami peristiwa yang sedang terjadi dan mengajak untuk ikut menjaga ketenteramannya.
Pada dasarnya, suatu informasi atau berita dapat disampaikan dengan berbagai cara, baik melalui tulisan ataupun gambar, namun yang terpenting cara–cara itu harus mengandung makna yang efektif.
Bahasa termasuk dalam bidang budaya. Penutur bahasa ialah makhluk sosial. Bahasa yang dituturkan atau diekspresikan pada kain rentang itu merupakan komunikasi sosial. Komunikasi massa merupakan proses di mana organisasi-organisasi media memproduksi dan menyampaikan pesan-pesan kepada khalayak luas dan proses di mana pesan-pesan dicari, digunakan, dipahami, dan dipengaruhi oleh khalayak.
Kajian komunikasi massa dengan perspektif budaya sosial (social–culturalist perspektive) lebih menekankan pada pengaruh faktor-faktor sosial terhadap produksi dan penerimaan isi atau pesan-pesan media, serta fungsi media dalam kehidupan masyarakat.
“Bahasa menunjukan bangsa”. Ungkapan itu dapat dimaknai bahwa penggunaan bahasa dapat mencerminkan kehidupan masyarakat penuturnya.
Dari segi bahasa, tuturan-tuturan yang ada pada kain rentang memiliki bermacam-macam bentuk. Fenomena kebahasaan tersebut bermuatkan pesan-pesan dengan ekspresi kebahasan yang beragam.
Untuk menjelaskan makna dan fungsi tuturan pada kain rentang menjelang puasa dan lebaran tersebut digunakan pendekatan sosiopragmatik, yang pada dasarnya menggunakan prinsip pragmatik.
Di beberapa lokasi ditemukan bentuk-bentuk ujaran yang termuat pada tuturan kain rentang pada peristiwa masa puasa Ramadan dan lebaran. Ujaran pada kain rentang tersebut tertuang pada berbagai bentuk tuturan, yaitu ujaran ekspresif, direktif, asertif, dan komisif.
- Tindak Tutur Ekspresif
Tindak tutur ekspresif berupa ujaran yang berfungsi untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap suatu keadaan, seperti yang terdapat pada kain rentang berikut
- Babinsa Desa Maguwoharjo: mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa. (Matador, Maguwoharjo)
Pada tuturan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Penutur pada tuturan tersebut yaitu Matador, Maguwoharjo yang menyatakan sikap penutur terhadap kondisi atau suasana di bulan puasa yang wajibditunaikan atau dilaksanakan.
Tindak tutur tersebut ditujukan kepada masyarakat, khususnya masyarakat muslim, yang melintasi lokasi (Maguwoharjo) tempat dipasangnya kain rentang tersebut. Penutur ialah Babinsa (Kepolisian) Desa Maguwoharjo yang memiliki sebutan Matador. Tujuannya untuk memberikan ucapan selamat (kongratulasi) ikut mendukung kegiatan ibadah puasa pada bulan Ramadhan.
(2) Selamat Hari Raya Idul Fitri … (RESCUE 920 Yogyakarta, Jalan Wates Km, Sentolo)
Tuturan itu) berupa tindak tutur ekspresif ditandai oleh kata selamat, yang menyatakan sikap kongratulatif kepadamasyarakat atas Hari Raya Idul Fitri.
Tuturan tersebutditujukan kepada masyarakat, yang melintasi lokasi (di jalanWates, Sentolo). Tujuannya untuk memberikan ucapanselamat (kongratulasi) ikut mendukung aktivitas lebaran.
- Tindak Tutur Direktif
Tindak tutur direktif diperoleh tuturan menyuruh, mengimbau atau menyarankan, mengingatkan, mengajak, eperti yang terlihat pada kain rentang berikut.
(3) Hidupkan Ramadan dengan baca Alquran. (Masyarakat Muslim Desa Kayuhan, Triwidadi, Pajangan, Bantul)
Isi tuturan ‘menyuruh’ tersebut ialah masyarakat disuruh menghidupkan suasana bulan Ramadan dengan membaca Alquran. Tuturan tersebut ditujukan kepada masyarakat yang melintasi lokasi Desa Kayuhan, Triwidadi, Pajangan, Bantul. Tujuannya ialah untuk menyuruh masyarakat membaca Alquran untuk menghidupkan suasana bulan Ramadan.
(4) Untuk memperlancar lalu lintas dan perjalanan Anda (mudik), gunakan jalur alternatif. (Dishub Kabupaten Bantul)
Tindak tutur pada klausa intinya gunakan jalur alternatif memiliki maksud harapan yang tertuang pada klausa anak yang ditandai oleh kata untuk. Maksud harapan tersebut ialah memperlancar lalulintas dan perjalanan pengendara ketika mudik.
(5) Ramadan bulan full pahala, sayang bila berlalu sia-sia.(Masyarakat Muslim Desa Kayuhan, Triwidadi, Pajangan, Bantul)
Tindak tutur himbauan itu ditandai oleh kata sayang, yang artinya ‘masyarakat dihimbau untuk melakukan ibadah sebanyak-banyaknya karena di bulan tersebut’. Masyarakat disarankan memperbanyak ibadah sebelum bulan tersebut berlalu sia-sia. Himbauan itu disertai pengingatan bahwa bulan itu merupakan bulan yang penuh (full) pahala.
(6) 24 jam tanpa maksiat itu hebat. (Masyarakat Muslim Desa Kayuhan, Triwidadi, Pajangan, Bantul)
Tuturan tersebut memiliki tindak tutur memberikan (wawasan pengetahuan) yang diungkapkan dengan penyataan bahwa 24 jamtanpa maksiat itu hebat. Artinya, penyataan yang dituangkan dalam kata-kata tersebut berupa pengetahuan untuk menjadi orang yang hebat dalam bulan Ramadan yaitu orang yang menjauh dari perbuatan maksiat.
Tujuan penutur memasang tuturan tersebut untuk memberikan saran kepada masyarakat, yaitu agar masyarakat tidak berbuat maksiat sama sekali, yang diibaratkan dengan waktu dalam 24 jam atau seharian penuh.
(7) Pacar 1 wajar, pacar 2 kurang ajar. Macet itu wajar, ditikung harus sabar. (Ditlantas Polda DIY kerjasama Perusahaan Jamu Bintang Toedjoe)
Tuturan Macet itu wajar, ditikung harus sabar tersebut mengandung maksud menyarankan. Saran yang termuat pada tuturan tersebut ialah saran kepada pengendara agar selalu sabar jika ditikung pada kondisi jalan sedang macet. Untuk tuturan Pacar 1 wajar, pacar 2 kurang ajaritu merupakan sampiran yang tidak berkaitan maknanya dengan tuturan sasaran di bagian belakang. Tindak tutur tersebut ditujukan kepada masyarakat yang melintasi lokasi dipasangnya kain rentang tersebut.
(8) Jangan dekati maksiat agar tidak terlaknat. (Masyarakat Muslim Desa Kayuhan, Triwidadi, Pajangan, Bantul)
Tindak tutur mengingatkan pada tuturan itu ditandai oleh kata jangan yang artinya ‘penutur memasang tuturan tersebut untuk memberikan pengingatan kepada masyarakat, yaitu mengingatkan agar tidak berbuat maksiat’.
Pengingatan tersebut disertai harapan bahwa masyarakat tidak akan terlaknat jika masyarakat tidak berbuat maksiat.
(9) Ramadan ojo mung ra madhang. ‘Ramadan jangan hanya tidak makan’ (Masyarakat Muslim Desa Kayuhan, Triwidadi, Pajangan, Bantul)
Tindak tutur mengingatkan pada tuturan itu ditandai oleh kata ojo ‘jangan’, yaitu ojo mung ra madhang ‘jangan hanya tidak makan’. Maksudnya, pada bulan Ramadan orang itu jangan hanya menahan lapar dengan cara tidak makan, tetapi kita harus memahami puasa itu sebagai ibadah serta melakukan ibadah lainnya dengan tulus ikhlas.
Tuturan tersebut bertujuan mengingatkan masyarakan sekitar dan masyarakat yang melintasi lokasi tulisan tersebut untuk bisa memaknai bahwa puasa itu bukan sekadar tidak makan, tetapi juga harus paham bahwa puasa itu sebagai ibadah yang ikhlas.
(10) Siji, loro, telu, wong bejo nek macet, ojo nesu. ‘satu, dua, tiga, orang mujur kalau macet, jangan marah’ (Ditlantas Polda DIY kerjasama Perusahaan Jamu Bintang Toedjoe)
Pada tulisan itu digunakan kata-kata bahasa Jawa, yaitu siji ‘satu’, loro‘dua’, telu ‘tiga’, wong orang bejo mujur nek kalau macet ‘macet’, ojo‘jangan’ nesu ‘marah’.
Tindak tutur ‘mengingatkan’ pada tuturan tersebut diungkapkan dengan kata-kata …wong bejo nek macet, ojo nesu yang maksudnya ‘mengingatkan bahwa orang yang mujur tidak akan marah jika dalam kondisi jalan macet’.
Tuturan tersebut bertujuan mengingatkan masyarakat sekitar dan masyarakat yang melintasi lokasi tulisan tersebut untuk tidak marah jika terjadi kemacetan.
Tindak Tutur Asertif
Bentuk ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan. Tindak tutur asertif digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang terekspresi pada tuturan kain rentang. Data yang menyatakan tidak tutur kebenaran proposisi yang diungkapkan yaitu sebgai berikut.
(11) Alam kubur sangat gelap, penerangannya tak lain hanya amal saleh. (Masyarakat Muslim Desa Kayuhan, Triwidadi, Pajangan, Bantul)
Tindak tutur menyatakan kebenaran proposisi tentang penerangan di alam kubur yang diungkapkan kata-kata penerangannya tak lain hanya amal saleh. Tindak tutur tersebut ditujukan kepada masyarakat yang melintasi lokasi dipasangnya kain rentang tersebut.
(12) Saya sopir galau, tapi BEJO (berhati-hati, eling aturan, jaga jarak) ojo emosi. (Ditlantas Polda DIY kerjasama Perusahaan Jamu Bintang Toedjoe)
Pada tulisan tersebut digunakan juga kata-kata bahasa Jawa, yaitu kata eling ‘sadar, ingat’ dan kata ojo ‘jangan’. Proposisi kebenaran dinyatakan oleh tuturan yang berupa singkatan BEJO, yang merupakan kepanjangan dari tuturan berhati-hati, eling aturan, jaga jarak, ojo emosi.
Tuturan yang berupa kata bejo merupakan proposisi kebenaran yang harus dilakukan seorang sopir atau pengendara. Maksud dari tuturan tersebut ialah bahwa seorang sopir yang benar dalam mengendarai itu harus melakukan tindakan yang diekspresikan dalam tuturan kata bejo yaitu sebagai berikut.
Ungkapan yang berupa singkatan bejo dapat dijelaskan sebagai berikut. (i) Tuturan berhati-hati bermaksud agar sopir berhati-hati. (ii) Tuturan eling aturan bermaksud bahwa pengendara harus selalu ingat ingat peraturan. (iii) Tuturan jaga jarak bermaksud bahwa sopir menjaga jarak dengan kendaraan lain. (iv) Tuturan ojo emosibermaksud bahwa pengendara tidak boleh beremosi tinggi pada saat berkendara di jalan.
Kajian terhadap tuturan yang tertulis pada kain rentang menjelang masa ibadah puasa Ramadan dan masa lebaran memerlukan kajian secara sosiopragmatis untuk dapat mengungkapkan siratan makna pada peristiwa verbalnya.
Sebagai harapan, budaya menulis dengan berisikan nasihat, saran, pengingatan, himbauan, dan anjuran pada kain rentang (spanduk) akan tetap dilakukan agar masyarakat lebih memahami kondisi pada bulan Ramadan dan situasi masa Idul Fitri. Kalau perlu Tulisan dibuat dengan tuturan yang berupa ungkapan humoris dan dengan permainan warna yang indah, seperti pada contoh tuturan (5), (6), (7), (9), (10), dan (12). Semoga tulisan ini bermanfaat.
Penulis adalah Peneliti Ahli Madya BRIN – Kepakaran Linguistik – Berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)