Obrolan “Sega” di Era Kekinian

Dra. Wiwin Erni Siti Nurlina, M.Hum, Peneliti Ahli Madya BRIN – Kepakaran Linguistik di Yogyakarta - Foto : Dok. Pribadi
Waktu Baca : 3 minutes

Penulis : Dra. Wiwin Erni Siti Nurlina, M.Hum

Bercerita tentang sega (nasi) tidak akan ada habisnya, seperti manusia yang selalu makan nasi dalam keberlansungan kehidupan.

Sega sangat lekat dengan masalah Kesehatan dan pangan, dengan bentuk penyajiannya yang beraneka ragam. Dalam kaitan fungsinya, aneka masakan berbasis sega memiliki berbagai fungsi, seperti fungsi kesehatan, budaya, ritual, kuliner, dan ekonomi.

Bagaimana cerita aneka masakan sega di era kekinian?

Pada suatu acara seminar internasional yang berjudul International Symposium on Social Sciences, Humanitas, Education, and Relgius Studies (ISSHERS), Wiwin Erni Siti Nurlina (penulis yang merupakan peneliti OR Arkeologi, Bahasa, dan Sastra, BRIN) dan Herie Saksono (peneliti OR Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat, BRIN) berkolaborasi membahas topik Aneka Masakan Sega di Era Milenial.

Seminar internasional tersebut diselenggarakan oleh UMY yang Bernama ICOSI, pada tanggal 20 dan 21 Juli 2022, dengan makalah kolaborasi berjudul “Sega: Revitalizing Javanese Rice Dishes to Boost the Orange Economy in the Socio-millennial Era”.

Dalam pembahasannya dikatakan bahwa dalam budaya Jawa, sega atau ‘nasi’ merupakan makanan pokok. Konsep sega berkembang seiring kegunaan, perkembangan zaman, kreativitas, inovasi, dan implikasi bisnis yang ditimbulkannya.

Pengembangan konsep sega terkait dengan (i) jenis lauk yang menyertainya dan (ii) cara memasaknya. Melalui perkembangan konsep ini, kata sega, memiliki berbagai nama misalnya sega ambengan, sega berkat, sega gandhul, sega gebuli, sega golong, sega kepyar, sega punar, sega wiwit, sega tumpeng, sega tumpang, sega megono, sega godog, dll.

Kekayaan konsep yang diwujudkan dalam leksikon suatu bahasa (dalam hal ini bahasa Jawa) menjadi telaah penting bila dikaitkan dengan ekonomi kreatif.

Pengamatannya dilakukan untuk menentukan ketepatan dalam mengungkap suatu konsep komunikasi. Di era sosio-milenial, kemunculan nama-nama sega ‘nasi” yang dimasak terkait dengan peristiwa budaya Jawa semakin dirasakan kemanfaatanya, terutama demi peningkatan perekonomian.

Kata sega dalam Bahasa Indonesia memiliki beragam makna. Sega dapat diartikan sebagai “nasi” atau “sega” (Bahasa Jawa), tetapi dapat pula berarti ‘beras’. Namun, kata sega dalam Bahasa Jawa justru memiliki makna spesifik.

Istilah sega telah menjadi sebuah “brand” yang berkarakter karena menampilkan spesifikasi dan keunikannya. Sega mampu mengekspresikan elemen khas budaya Jawa dengan cirinya tersendiri sebagai ungkapan syukur dalam kehidupan, beragam ritual dan tradisi (laku), upacara/perayaan atas suatu peristiwa penting, prosesi adat istiadat, aktivitas individu dan sosial, serta pemenuhan
kebutuhan penting lainnya.

Dalam makalah tersebut, Herie Saksono menjelaskan bahwa saat ini, dunia sedang mengalami disrupsi rangkap tiga (triple disruptions). Diawali disrupsi digital, disrupsimilenial, dan disrupsi pandemic Covid-19.

Generasi milenial menjadi generasi yang paling terdampak atas kelipatan tiga disrupsi tersebut. Dalam konteks ini, milenial termasuk dalam kelompok usia produktif.

Produktivitas kaum milenial dalam interaksi sosialnya semakin nyata dirasakan pada era 2000-an. Karakteristik spesifik, orientasi tujuan hidup, interaksisosial, serta inklusivitas dan produktivitas kehidupan kaum milenial ini menjadikan mereka sebagai sosio-millenial. Terlebih dengan dukungan teknologi digital yang menjadikan mereka sebagai makhluk digital (digital native) yang menstimulasi terjadinya perubahansosial secara massif.

Disinilah kemudian menuntut adanya kreativitas yang dilakukan dalam kebersamaan yang dapat diterima secara sosial karena merupakan kebutuhan dasar bagi kesejahteraan hidup. Kreativitas sosial tercipta dengan dibangunnya jejaring sosial (networking social) karena aspek interaksi sosial secara tradisional seperti hilang.

Namun, hakekat sosiologinya masih melekat, hanya pola relasi sosial telah berubah di era milenial
sehingga memiliki waktu lebih banyak dalam membantu bisnis sehingga industri kreatif
berkembang lebih pesat.

Dari pembahasan yang disampaikan pada seminar internasional tersebut, Wiwin dan Herie dalam tulisannya menyimpulkan sebagai berikut.

Mengacu pada analisis semantic-etnologis, ditemukan sekira 40 (empatpuluh) ragam masakan berbasis sega dan menamakan masakan tersebut dengan awal kata sega. Klasifikasi masakan berbasis sega berasal dari komponen bahan penyerta dan peruntukan (maksud) pembuatan. Karenanya, sega telah menjadi “Gaya Hidup dan Brand bagi Socio-millennial”.

Disrupsi yang terjadi dan eksistensi milenial di Indonesia justru semakin memperkokoh keberadaan kuliner dengan unsur kata sega sebagai menu makanan dan pangan utama. Bahkan, milenial memiliki kemampuan menjadikan kuliner dengan unsur kata sega sebagai gaya hidup baru. Kondisi ini berimbas terhadap hadirnya brand produk makanan yang berkualitas karena menjadi rujukan untuk memenuhi ragam kebutuhan sehari-hari para milenial.

Di sisi lain, cara pandang milenial terhadap kuliner dengan unsur kata sega turut membantu perubahan pola interaksi sosial diantara milenial.

Semoga bermanfaat.

Penulis adalah Peneliti Ahli Madya BRIN – Kepakaran Linguistik – Berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)