Epidemi Korupsi di Tengah Pandemi Covid-19

Poltak Emerson Tarihoran, Wartawan Senior (Dok Pribadi)
Waktu Baca : 5 minutes

Oleh Emerson Tarihoran

PUTRI Gusdur, Alissa Wahid, pernah mengatakan: ”Sebagian besar dari kita melihat kasus korupsi seperti menonton infotainment. Kita merasa tidak terdampak langsung, padahal kitalah korbannya. Di tengah pandemi Covid-19, perilaku korupsi tidak surut, kasus-kasus besar malah terhenti.

Jika penguasa tidak melihat korupsi sebagai penyakit berbahaya, kepada siapa lagi rakyat dapat berharap? Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pernah berkata: ”Anda tidak perlu mengangkat senjata dan membunuh orang seperti zaman perjuangan dulu. Cukup jangan korupsi saja itu sudah menolong negara kita.”

Pilar utama yang menjamin kesejahteraan rakyat, adalah penguasa yang duduk di kursi pengatur dan pengguna anggaran. Tetapi pilar itu justru runtuh akibat keserakahan. Siapa lagi tempat mengadu buat rakyat yang kini berdiam di rumah tanpa harapan dan pendapatan?

Presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid pernah berkata: ”Membiarkan terjadinya korupsi besar-besaran dengan menyibukkan diri dengan ritus-ritus hanya akan berarti membiarkan berlangsungnya proses pemiskinan bangsa yang makin melaju.”

Benar saja. Kini lembaga-lembaga penegakan hukum di bidang korupsi, sibuk dengan urusan ritual. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sibuk membenahi diri, sambil membiarkan kasus besar mengendap di depan mata. Kejaksaan Agung hingga lembaga di bawahnya sibuk dengan ritual membangun hubungan mesra dengan kepala-kepala daerah.

Sakit hati rakyat belum terhapus dalam kasus korupsi bantuan sosial (bansos) yang dilakoni oleh mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. Pengadaan program bantuan sosial senilai Rp5,9 triliun hampir tidak dinikmati oleh rakyat. Kongkalikong antara Kemensos dengan vendor menghasilkan bantuan ‘sampah’ untuk rakyat. Makanan yang tidak sesuai, bahkan tidak layak. Itulah yang disalurkan kepada rakyat yang menderita kelaparan.

”Jangankan manusia, kucing pun nggak mau makan makanan kaleng dari bansos,” kata penyidik KPK Mochamad Praswad N di sesi diskusi melalui siaran langsung Instagram dengan tema ‘Warga Menggugat Korupsi Bansos’ Jumat lalu.

Dalam kasus yang melibatkan Juliari Batubara, dia dituduh menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bansos COVID-19. ”Ini adalah kejahatan kemanusiaan,” kata Praswad ketika mengomentari kasus korupsi yang dilakukan oleh Juliari Batubara.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), Boyamin Saiman, memprediksi Juliari Batubara akan dituntut minimal 10 tahun, meski dalam pernyataannya, dia berharap Juliari akan dituntut untuk menjalani hukuman 20 tahun penjara. Namun, KPK sebagai lembaga yang memiliki kemampuan untuk memperjuangkan tuntutan masyarakat, tak lagi dapat diharapkan. KPK, kata Bonyamin, memperoleh tekanan dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

Indonesia Corruption Watch (ICW) khawatir terkait keberpihakan Dewas KPK. Apabila dilihat dari putusan Dewas itu, kemungkinan Dewas KPK telah berubah menjadi pelindung bagi pelaku korupsi. ”Jangan sampai justru dewan pengawas KPK menjadi satu bagian dari pimpinan KPK yang juga menginginkan perkara bansos ini tidak terungkap secara tuntas,” kata seorang peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.

Kita tilik kasus lain, seperti kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. KPK sangat ramah, sehingga tuntutannya ringan. Pada kasus korupsi sebelumnya, KPK dengan agresif menuntut 10 tahun penjara (kasus suap dana hibah KONI oleh mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi). Kini, KPK hanya menuntut Edhy Prabowo untuk menjalani masa tahanan selama 5 tahun, dan dikabulkan hakim Tipikor pada Kamis pekan lalu. Setengah lebih ringan daripada kasus sebelumnya.

Padahal, Edhy Prabowo melakukan tindakan tersebut ketika ekonomi negara sedang mengalami keterpurukan akibat Covid-19. Berbeda dengan Imam Nahrawi, yang terjerat kasus sebelum pandemi terjadi di Indonesia.

Fenomena hukuman ringan terhadap tindak kejahatan extra ordinary yang dilakukan pada saat pandemi, merupakan ‘epidemi’ yang justru dipelihara oleh kekuasaan eksekutif dan yudikatif, yang kini diberi apllaus oleh legislatif. Kebijakan pemerintah untuk menggelontorkan dana raksasa pada masa sekarang, justru digunakan oleh berbagai lembaga pemerintahan dan non pemerintahan mengeruk keuntungan. Jika mereka tertangkap, hukuman ringan yang akan menantikannya. Betapa sedihnya rakyat yang hanya bisa meratap.

Presiden Joko Widodo telah memberi peringatan kepada para pengguna anggaran, agar setiap persinggungan kekuasaan, hati-hati menjalankan kekuasaannya. ”Setiap regulasi adalah pisau bermata dua, bisa jadi objek transaksi dan korupsi,” kata Joko Widodo. Regulasi yang berada di tangan para penguasa itulah yang selalu digunakan untuk mengalihkan dana, dari yang seharusnya dinikmati rakyat, justru masuk ke kantong pejabat.

Kita saksikan di berbagai tempat sepanjang pandemi Covid-19 terjadi. Sejumlah rumah sakit memasukkan daftar pasien yang non Covid-19 menjadi tanggungan Gugus Covid-19 demi keuntungan rumah sakit dan para pejabat yang terlibat mengelola dana Covid-19. Tidak tanggung-tanggung, bahkan ada yang berani menguburkan peti jenazah kosong, dengan label korban Covid-19, hanya untuk ‘merampok’ uang rakyat.

Menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebanyak Rp1.035,2 trilyun anggaran negara digunakan selama 2020. Anggaran itu digelontorkan ke tim penangangan penyakit Covid-19, ke lembaga-lembaga rumah sakit, bahkan ke pemda untuk disalurkan dalam bentuk bantuan sosial. Tetapi kenyataannya, ketika rakyat menemukan perilaku dan bukti korupsi, sejumlah kasus bansos macet di tangan penegak hukum. Baik kejaksaan, maupun KPK. 

Kasus bansos di Kepri, misalnya, ada kasus bansos yang melibatkan Kepala Dinas bahkan Kepala Daerah, namun penangangannya kandas di tangan lembaga kejaksaan dan KPK. Informasi dari mulut ke mulut sudah ada tersangka. Namun informasi itu tidak pernah dirilis secara resmi, sehingga lembaga yang menangangani leluasa menutup atau menghentikannya.

Pada tahun ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah merilis anggaran Covid-19 sebanyak Rp744,75 trilyun, dan anggaran sosial Rp187,84 trilyun. Anggaran itu menjadi sumber bancakan bagi para penyelenggara kekuasaan, baik di tingkat pusat, maupun di daerah. Apakah rakyat hanya akan menerima bantuan dalam bentuk ‘sampah,’ tinggal menunggu waktu saja.

Korupsi yang Tak Kunjung Diselesaikan

Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Harun Al-Rasyid, mengungkapkan ada 15 berkas perkara yang telah rampung di lembaga super body itu. Namun kasus itu tidak kunjung diselesaikan. Padahal, KPK dapat mengungkap kasus itu dalam bentuk penangkapan biasa atau penangkapan dalam operasi tangkap tangan (OTT).

Ketua Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) Tumpak Hatorangan beberapa waktu lalu, mengatakan telah menerima banyak pengaduan atau laporan dari masyarakat. Kasus itu dilakukan oleh kepala-kepala dinas hingga kepala daerah di berbagai provinsi. Salah satu yang nyata-nyata disebut, namun tidak ditangani dengan baik, adalah kasus Pengadaan Quay Container Crane” (QCC) di PT Pelindo II. Untung saja RJ Lino telah dipenjara, menunggu vonis.

ICW dalam rilisnya tahun lalu menyebut ada 18 kasus korupsi berskala besar yang diendapkan oleh KPK dan Kejaksaan. Kasus itu antara lain: Kasus suap perusahaan asal Inggris, Innospec, ke pejabat Pertamina; bailout Bank Century; proyek pembangunan di Hambalang; suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indoneia; proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Kementerian Kehutanan. 

Ada lagi kasus hibah kereta api dari Jepang di Kementerian Perhubungan; proyek pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan; suap Rolls Royce ke pejabat PT Garuda Indonesia; Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI); proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP), yang semuanya belum tuntas, karena ada pihak terkait yang justru bagi sebagian kasus, merupakan aktor utama. Namun tidak kunjung diproses.

Dari catatan ICW dan TII dalam kasus-kasus tersebut, masih ada pihak-pihak lain yang diduga terlibat, namun belum terjerat. Selain aktor utama di balik kasus itu belum terungkap, tersangka ada yang belum ditahan; dan belum adanya perkembangan yang signifikan. 

Pada putusan Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung secara terang mengungkap dugaan keterlibatan pihak lain, yang masih belum dijerat KPK. ”Ini kasus dengan kerugian negara cukup besar Rp 4,58 triliun. Dengan disebutkannya beberapa nama seharusnya menjadi modal bagi KPK untuk menindaklanjuti perkara ini. Karena jika dilihat dari tempus delicti kasus ini maka tahun 2022 akan berpotensi menjadi kadaluwarsa,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.

Di Kepulauan Riau, contohnya, ada kasus korupsi reklamasi yang melibatkan gubernur yang kini telah menerima vonis. Namun aktivitas reklamasi yang lebih besar dibiarkan berjalan secara diam-diam, serta para pelaku yang terlibat di dalamnya masih belum terungkap. Proyek raksasa reklamasi Teluk Tering di Pulau Batam, tepatnya di kawasan Batam Centre, persis di depan kantor Kepala BP Batam dan Kantor Wali Kota Batam.

Mantan Gubernur Kepri Nurdin Basirun beserta Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemprov Kepri, Edy Sofyan dan Kabid Perikanan Tangkap DKP Pemprov Kepri, Budi Hartono yang merupakan pengusaha yang telah dihukum, juga terkait dengan proyek Teluk Tering. Menurut media setempat, perusahaan terlibat di dalamnya mendapat rekomendasi dari Wali Kota Batam, Muhammad Rudi. Perusahaan itu adalah PT Kencana Investindo Nugraha (KIN). Malah izin reklamasi terbaru telah dikeluarkan Pemerintah Kota Batam di pesisir Teluk Tering untuk PT Batamas Puri Permai (BPP). Perusahaan itu semua terkait dengan penguasa di Batam, Kepri, bahkan di Jakarta.

Bukan itu saja. Puluhan anggota DPRD dan penguaha yang terlibat dalam kasus korupsi konsumsi di DPRD Kota Batam pada 2017 dan 2018, kini diendapkan. Para anggota DPRD berkeliaran tanpa merasa bersalah, setelah mengembalikan sebagian uang yang telah dikorupsi. ”Kami sudah mengembalikan,” demikian kilah beberapa pelaku korupsi ketika ditanya wartawan.

Begitu banyaknya ‘tunggakan’ kasus yang sengaja diendapkan, yang juga merupakan epidemi hukum akibat keserakahan penguasa. Rakyat hanya bisa berharap, namun tindakan nyata hanya dapat dilakukan oleh pemegang kekuasaan lewat lembaga penegakan hukum. 

Akhirnya, sebagai umat beragama, kita hanya memohon Tuhan memberi kekuatan bagi para pemegang kekuasaan, khususnya bagi penegak hukum yang masih memiliki integritas. ”Korupsi lebih atau setidaknya sama saja dengan membakar kitab suci, yaitu menghina esensi kitab suci. Tak ada ajaran maupun agama yang tak mengharamkan korupsi,” kata budayawan Sujiwo Tejo.

Di tengah kerinduan agar Pandemi Covid-19 berlalu, pertanyaan yang lebih esensi, adalah, kapan epidemi korupsi dapat diberantas? Mungkin masih ada setitik harapan yang menjawab kerinduan itu.

Emerson Tarihoran
Wartawan Senior bermukim di Batam.