Mi Instan dan Kedai Ganja – Edisi Nostalgia

Jurnalis Senior, Andrianus Pao - Foto : Koleksi Pribadi
Waktu Baca : 2 minutes

Penulis : ANDRIANUS PAO

Setelah sebelumnya sempat meliput ke beberapa negara di Asia, tahun 1991 saya mendapat penugasan meliput Sidang OPEC di Jenewa (Swiss) dan seminar bisnis di London (Inggris) yang digelar KBRI. 

Mumpung lagi di Eropa, maka pulangnya mampir dulu ke Belanda untuk liat tanah air nenek moyang dari pihak Bapak.

Liputan Sidang OPEC atas undangan Mentamben (waktu itu) Ginanjar Kartasasmita. Selain saya dari Media Indonesia, teman lain yang ikut dari Suara Pembaruan (Alex Lasamahu), Bisnis Indonesia (Cyrilius Kerong), dan KBN Antara (M. Yusuf). Namun yang diajak ke London hanya saya dan Alex. 

Dalam liputan sidang di Swiss, satu yang membuat “bengong” adalah peralatan yang dipakai kawan dari media asing. Sementara “kita” menyodorkan tape kecil saat wawancara, mereka (beberapa di antaranya) sudah menggunakan telepon genggam ukuran bata besar yang terhubung dengan rekannya di media center untuk langsung dibuat berita. 

Sedangkan “kita” setelah wawancara masih harus mendengarkan lagi sekaligus menerjemahkan untuk kemudian dibuat berita dan dikirim ke Jakarta via mesin faksimili.

Peristiwa lucu selama di Jenewa adalah kawan Kerong membawa banyak sekali mi instan Popmie di kopornya (takut nggak cocok ama makanan asing), padahal setiap kita ke kamar delegasi Indonesia, kita selalu dimintai pendapat oleh “dayang2” Ginanjar (ketika itu yang ikut Aburizal Bakrie dan Hartoto Hardikusumo) soal menu makan siang hari itu.

Sementara ketika tiba di Heathrow London, untuk kali pertama saya kehilangan tas. Setelah lapor di lost and found, tas saya baru keesokan harinya dikirim ke hotel dalam keadaan jebol. 

Terpaksa beli koper baru di Harrods dan sampai saat ini tas itu masih utuh tersimpan. 

Karena hanya semalam di London, maka waktu yang ada dimanfaatkan betul untuk “mengetahui” dunia malam ibukota Inggris itu. 

Dengan menggunakan mobil menteri yang disediakan KBRI, saya, Alex dan Richard Clayporth (sekpri Ginanjar) menjelajahi kawasan Soho yang terkenal itu.

Ketika mendarat di Schiphol Amsterdam, saat di kereta menuju Amsterdam Centraal, Alex memperingatkan saya untuk tidak meladeni “teman2 Ambon” yang akan ditemui di stasiun kereta terbesar itu. “Biar aku aja yang bicara ama saudaraku sekampung,” kata Alex yang sudah beberapa kali ke Belanda.

Sejenak bertemu dengan “saudara” kita dari Timur, kami melanjutkan perjalanan ke Hilversum untuk menginap di apartemen Kang Asbari AN Krisna (penyiar Radio Hilversum), yang istrinya, Yuyun AN Krisna, adalah Koresponden Suara Pembaruan.

Karena kami tiba siang hari, sorenya Alex ngajak jalan-jalan ke Scheveningen. 

Tanpa curiga melihat dia berdandan rapi pakai dasi segala, kami pun berangkat dengan kereta api. Setibanya di sebuah hotel, kami duduk di lobi dan memesan bir Heineken. Tak berapa lama Alex pamit ke toilet, namun tunggu punya tunggu lama betul ke toiletnya. Ketika akhirnya dia muncul, dengan wajah tersenyum dia kasih saya uang 100 dolar.

Rupanya dia pergi ke “toilet” kasino, yang mewajibkan pengunjung pakai dasi, untuk berjudi dan ternyata menang. Pantesan, sebelumnya dia tanya saya suka judi tidak.

Esok harinya, sebelum pulang lusa, kami pun jalan-jalan menikmati tur keliling kanal (sayang foto yang dibeli ketika turun di dok hilang) dan sightseeing ke De Wallen (banyak ketemu orang Indonesia di sini). 

Bahkan di De Wallen, kami pun mencoba merasakan suasana kedai kopi ganja (maaf, cerita di kedai ini bukan untuk konsumsi publik), yang kabarnya sekarang akan dilarang untuk turis asing. 

Penulis adalah Jurnalis Senior