Mengenal Tradisi Mubeng Beteng, Kontemplasi Dalam Sunyi

Mubeng Beteng merupakan tradisi tahunan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang telah ada sejak zaman Sri Sultan Hamengkubowono I untuk menyambut Tahun Baru Islam atau 1 Suro. Foto- @ibonugro_ via TEMPO.CO
Waktu Baca : 3 minutes

JAKARTA, TANHANANEWS.COM — Setelah tiga tahun absen akibat pandemi Covid-19, Tradisi Lampah Budaya Mubeng Beteng kembali digelar memperingati Tahun Baru 1 Sura Jimawal 1957 atau 1 Muharam 1445 Hijriah.

Dikutip dari keterangan Pemprov DIY, Rabu, 19 Juli 2023, Hajad Kawula Dalem ini diinisiasi paguyuban Abdi Dalem Keraton Yogyakarta dan masyarakat sebagai bentuk refleksi bersama, perenungan, kontemplasi dan memohon perlindungan serta pensucian diri menuju manusia yang lebih baik pada tahun yang akan datang.

Abdi Dalem dan masyarakat mulai memadati Kagungan Dalem Bangsal Pancaniti atau Kompleks Kamandungan Lor/Keben Keraton Yogyakarta pada Rabu, 19 Juli 2023 malam, sejak pukul 19.30 WIB. Prosesi mubeng beteng diawali dengan pembacaan tembang-tembang Macapat dan doa bersama sejak pukul 20.00 hingga 00.00 WIB.

Lalu dilanjutkan dengan prosesi Mubeng Beteng dalam nuansa sunyi dan khidmat oleh Abdi Dalem Keraton yang tidak berbicara dan tanpa alas kaki berjalan mengitari beteng keraton berlawanan dengan arah jarum jam.

Dari pihak Keraton Yogyakarta diwakili KPH Purbodiningrat yang melepas keberangkatan para Abdi Dalem tersebut tepat pukul 00.00 WIB

Adapun rute Mubeng Beteng dimulai dari Keben- Ngabean -Pojok Beteng Kulon – Plengkung Gading – Pojok Beteng Wetan – Jalan Ibu Ruswo – Alun-Alun Utara – Keben. Tak sedikit pula masyarakat maupun wisatawan yang ikut berjalan sepanjang 5 kilometer mengikuti prosesi ini di belakang barisan para Abdi Dalem.

“Tahun ini tradisi Mubeng Beteng akhirnya bisa digelar terbuka bersama masyarakat lagi setelah mendapat izin dari Ngarso Dalem (Raja Keraton Sri Sultan Hamengku Buwono X),” ujar Ketua Paguyuban Abdi Dalem Keraton Yogyakarta KRT Kusumanegara ditemui di sela-sela acara.

Kusumanegara mengungkapkan tradisi Mubeng Beteng sebenarnya juga tidak benar-benar ditiadakan pada 2020 sampai 2022 lalu atau saat pandemi. Hanya saja tradisi itu memang sengaja tidak terbuka untuk masyarakat dan tidak dalam bentuk berjalan kaki bersama-sama mengelilingi beteng keraton melainkan berupa pembacaan tembang, perenungan dan doa bersama di Keben.

“Kami prediksi ada 4.000 Abdi Dalem dan masyarakat yang turut serta. Tradisi ini semacam perayaan tahun baru, namun bukan seperti budaya Eropa yang mengutamakan hingar bingar, melainkan dalam bentuk kontemplasi dan berdoa sepanjang prosesi,”imbuhnya.

Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY Dian Lakshmi Pratiwi mengungkapkan tradisi ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) dari DIY. Esensi tradisi ini sebagai momen untuk refleksi bersama, melakukan perenungan, kontemplasi dan memohon perlindungan untuk perjalanan setahun ke depan.

” Para Abdi Dalem biasanya melepas kerisnya tanpa sandal berjalan karena ingin merasakan alam dan Tuhan di dalam perjalanan yang disimbolkan dengan ritual ini. Jadi sebenarnya lintasan tidak terlalu masalah tapi inti pentingnya adalah kontemplasi merenung dan kemudian mengingat alam semesta dengan Mubeng Beteng itu,” tandas Dian.

Elisabeth Widayanti, salah satu warga sengaja datang untuk mengikuti Lampah Budaya Mubeng Beteng ini. Warga Yogyakarta mengaku pernah mengikuti tradisi ini sewaktu masih SD. Perempuan ayu ini bahkan telah mempersiapkan diri dengan beristirahat secukupnya untuk mengikuti Mubeng Beteng.

” Saya sebagai warga asli Yogya, tradisi ini merupakan tapa atau laku bisu dalam suasana hening, berdoa, bersyukur sekaligus prihatin. Harapannya sebagai warga asli semakin memiliki kota ini dan bisa peka terhadap lingkungan sekitar serta lebih menghargai budaya jawa yang sarat akan makna dan nilai” tuturnya dengan penuh semangat.

Senada, Ross Beschler, wisatawan asal Negeri Paman Sam juga menyempatkan diri menyaksikan prosesi Mubeng Beteng ini. Pria yang berprofesi sebagai aktor ini mengaku sangat tertarik dengan tradisi budaya seperti Mubeng Beteng ini.

‘Saya sangat menyukai kegiatan budaya seperti ini karena tidak hanya unik tetapi ada nilai dan makna mendalam. Jika saya masih terjaga, dengan senang hati ikut berjalan mengelilingi beteng nantinya,” kata Ross yang datang bersama teman-temannya.

Sementara itu, Triyono warga Sleman mengaku sudah tiga kali mengikuti ritual Mubeng Beteng ini. Dalam hidup, ia merasakan adanya perubahan lebih baik di titik-titik tertentu setiap tahunnya sejak mengikuti prosesi tersebut. Untuk itu, dirinya mengajak beberapa temannya mencoba mengikuti tradisi Mubeng Beteng.

“Saya sudah tahu dan penasaran mencoba. Tahun demi tahun mengikuti prosesi ini, saya merasa kenikmatan sekaligus nguri-uri kabudayan. Semoga ada perubahan yamg lebih baik kedepannya,” ucapnya.

SUMBER: PEMPROV DIY | EDITOR: EDDY PRASETYO