Ditulis Oleh: Prihandoyo Kuswanto *)
Isu terhadap UUD 1945 akan di amandemen ke lima untuk sekedar memasukan PPHN dan MPR menjadi Lembaga Tertinggi Negara kurang tepat sebab UUD hasil amandemen yang biasa disebut UUD 2002 tidak menggunakan sistem kolektivisme secara filosofi UUD 2002 Dengan sistem presidensiilyang basis nya Individualisme bertentangan dengan Pancasila ,dan pembukaan UUD 1945.
Pengakuan Prof Amin Rais atas kekeliruan Amandemen UUD 1945
Ketua MPR periode 1999-2004 Amien Rais meminta maaf karena pernah melakukan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk mengubah sistem pemilihan presiden dari sebelumnya oleh MPR menjadi dipilih oleh rakyat. Amien mengaku saat itu dirinya terlalu naif karena melihat politik uang tidak akan terjadi jika rakyat memilih langsung presidennya.
Jadi mengapa dulu saya selaku ketua MPR itu, melucuti kekuasaannya sebagai lembaga tertinggi yang memilih presiden, dan wakil presiden, itu karena penghitungan kami dulu perhitungannya agak naif. Sekarang saya minta maaf,” kata Amien saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, usai bertemu pimpinan MPR
Amandemen ķe ĺima yang hanya ingin menempelkan PPHN justru akan menambah kerusakan ketatanegaraan kita jika kita tidak mengembalikan pada sistem kolektivisme .
Sebab MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara itu mempunyai kewenangan
1.Menyusun politik Rakyat yang di sebut GBHN .
2.Memilih, mengangkat dan memberhentikan presiden dan wakil presiden
3.mengesahkan UUD.
Jadi lebih tepat kembali ke UUD 1945 asli.
Di dalam Sidang II BPUPKI, Panitia Kecil Perancang UUD, setelah mengkaji 76 riig konstitusi dari negara-negara merdeka dan berpengaruh di dunia, seperti Konstitusi-konstitusi USA, Inggris, Weimar (Nama sebelum menjadi Jerman), Jermania, Perancis, Belanda, Cekoslovakia, Jepang, Philipina, Uni Sovyet, Burma, dan lain-lain, BPUPKI kemudian lebih memilih sistem sendiri dalam ketata-negaraannya. Yang dikenal oleh dunia pada saat itu adalah sistem presidensial (USA) dan sistem parlementer (Inggris).
Sistem presidensial ala USA, ditolak. Sistem parlementer ala Inggris juga ditolak. Panitia Kecil Perancang UUD kemudian menciptakan apa yang kemudian disebut dengan Sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
MPR ini dirancang sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia.
Sistem MPR ini diyakini merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat itu sendiri, bukan kedaulatan individu. Kedaulatan rakyat di dalam keanekaragaman rakyat Indonesia yang berbhinnekatunggal Ika baik dalam suku, agama, ras, golongan adat istiadat maupun bahasa.
Di dalam MPR ini lah seluruh rakyat Indonesia melalui wakil-wakilnya berkumpul atau dikumpulkan (collecting) untuk melakukan permusyawaratan guna merumuskan haluan negara (GBHN), memilih dan meminta pertanggungjawaban presiden/wakil presiden,serta membuat dan merubah Undang-undang Dasar.
Kedaulatan rakyat (bukan kedaulatan individu) adalah kedaulatan rakyat dalam pengertian jamak, bukan individu. Sesuai dengan sifat sosial dari masyarakat yang hidup dalam kelompok-kelompok, maka dengan keterwakilan dari kelompok-kelompok, golongan-golongan itulah rakyat terwakili kedaulatannya di dalam lembaga MPR.
Karena itulah MPR di dalam ketatanegaraan Negara Republik Indonesia sebagai lembaga tertinggi negara.
Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR tidak bersidang setiap saat atau setiap tahun, tetapi sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun. Ini harus dipahami mengingat MPR sebenarnya bukanlah lembaga politik, seperti Presiden (eksekutif), DPR (legislatif), dan Mahkamah Agung (yudikatif), melainkan lembaga yang menjadi sumber dari kekuasaan dan kedaulatan bagi lembaga-lembaga di bawah MPR (representasi kedaulatan rakyat).
Lembaga-lembaga di bawah MPR adalah lembaga-lembaga tinggi negara yang bekerja setiap hari dan setiap saat sesuai dengan garis-garis besar haluan negara yang telah ditentukan dan diamanahkan kepada lembaga-lembaga negara tersebut.
Sebagai lembaga yang menjadi perwujudan seluruh rakyat Indonesia, MPR disusun dengan uñsur terdiri dari DPR, Utusan-utusan Daerah, dan Utusan-utusan Golongan. Oleh karena itu, MPR akan menjadi sangat besar, sehingga MPR tidak perlu bersidang setiap saat. MPR bersidang sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.
Oleh karena itu, menjadi menarik mencermati penggunaan istilah “Utusan-utusan” dalam susunan MPR. Utusan-utusan ini maksudnya adalah bahwa ‘utusan-utusan’ tersebut datang ke Jakarta hanya ketika bersidang setiap sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun sesuai dengan ketentuan UUD, atau ketika situasi dalam kondisi tertentu sehingga Pimpinan MPR memanggil utusan MPR untuk bersidang.
Jadi, setelah Sidang 5 tahunan itu selesai, utusan-utusan daerah dan utusan-utusan golongan ini kembali ke tempat masing-masing. Setelah itu adalah menjadi kewajiban dari lembaga-lembaga tinggi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan mengacu kepada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN )yang telah dibuat dan ditetapkan oleh Sidang MPR.
Sistem MPR sebagai Sistem Sendiri, sebagai bentuk kreatif dari founding fathers dalam merancang bangunan ketatanegaraan Negara Republik Indonesia.
Dengan memahami hal ini, maka ketika UUD Pasal 1 ayat 2, yang semula berbunyi, “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” diamandemen sehingga bunyinya menjadi, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, maka saat itulah bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah runtuh.
Dalam sistem presidensial seperti sekarang ini (versi UUD 2002) kedaulatan rakyat menjadi kabur. Kedaulatan rakyat dalam sistem presidensial (versi UUD 2002) telah diterjemahkan menjadi kedaulatan individu (dengan memilih langsung presiden dan kepala daerah). Kedaulatan rakyat dikaburkan menjadi pemilihan langsung presiden dan kepala daerah.
Sementara itu, dalam sistem presidensial ini, presiden pada dasarnya menjalankan politiknya sendiri, bukan menjalankan politik rakyat.
Dalam sistem MPR (versi UUD 1945 Naskah Asli) kehendak rakyat yang sebenarnya, melalui wakil-wakilnya, kemudian dimusyawarahkan sehingga menjadi ‘politik rakyat’ dalam bentuk haluan negara (GBHN) yang harus dijalankan oleh mandataris (presiden yang dipilih oleh MPR).
Jadi dalam sistem MPR ini, Presiden seharusnya tidak boleh menjalankan politiknya sendiri, melainkan harus menjalankan politik rakyat yang tertuang di dalam GBHN. Dengan sistem seperti ini, maka MPR dapat meminta pertanggungjawaban Presiden selaku mandataris MPR jika diketahui Presiden telah melanggar atau menyimpang dari GBHN.Presiden bisa di turunkan .
DPR dengan sistem ini pun memiliki standar parameter dalam melakukan pengawasan (controlling) terhadap pelaksanaan GBHN oleh Presiden.
Dengan penjelasan diatas harus nya MPR tidak melakukan amandemen ke lima tetapi kembali pada UUD 1945. Jika kita semua ingin menyelamatkan masa depan Bangsa Indonesia.
*) Penulis adalah Ketua Pusat Study Kajian Rumah Panca Sila.