Penulis : Umar Sidik dan Wiwin Erni Siti Nurlina
Èthèk-èthèk-èthèk-èthèk ..Thèk èthèk-èthèk-èthèk-èthèk ….! Itu setiap hari yang kita dengar di sekitar kita. Tiba-tiba saja, permaian yang bernama lato-lato secara masif dimainkan oleh anak-anak-anak seantero Indonesia, bahkan oleh sebagian orang dewasa.
Dalam tempo sekejap permainan lato-lato menjadi viral. Hal itu disulut melalui platform TikTok pada penghujung tahun 2022. Selain itu, viralnya lato-lato karena masuk dalam anime jepang Jojos Bizzare Adventure. Lato-lato digunakan oleh sang tokoh bernama Joseph Joestar untuk mengalahkan lawannya.
Sebuah permainan yang oleh sebagian orang dikatakan murahan dan menyebalkan karena suaranya yang berisik. Apalagi jika dimainkan secara berbarengan oleh lebih dari dua anak, sangat berisik. Bukan hanya sekadar berisik, tetapi juga berisiko tinggi.
Dengan bahan yang keras (bulatan berbahan plastik akrilik), lato-lato dapat menciderai pemainnya, temannya, bahkan bisa merusak barang yang lain di sekitarnya, seperti kaca, mobil, dsb. Oleh karena itu, sebagian orang melarangnya, termasuk guru ada yang melarang siswanya membawa lato-lato ke sekolah.
Mereka menganggap banyak madaratnya ketimbang manfaatnya. Atas dampak negatif, permainan lato-lato pernah dilarang di tiga negara: Amerika Serikat, Inggris, dan Mesir.
Namun, di tengah-tengah kondisi anak-anak yang sedang kecanduan gawai, bukan saja orang tua, Pak RT/RW, lurah, camat, bupati, gubernur, bahkan Kapolri memberikan apresiasi dan spirit atas permainan lato-lato. Malahan, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dan Presiden Jokowi dalam kunjungan ke Pasar Subang Jawa Barat, 29 Desember 2022, menyempatkan memainkan lato-lato meskipun hanya sejenak. Kejadian itu, oleh banyak pihak ditengarai sebagai “dukungan” munculnya kembali permainan lato-lato.
Dengan serta merta follow up pun dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat dengan berbagai event. Lomba lato-lato digelar dengan hadiah yang sangat variatif: dari hadiah hiburan hingga uang jutaan rupiah. Memang, dalam sejarahnya, pada Agustus 1971, di Italia pernah diadakan kejuaraan dunia lato-lato (clackers), tepatnya di desa Calcinatello, dekat Brescia. Dalam kejuaraan ini, berbagai peserta dari Belanda, Belgia, Swiss, Inggris, hingga Kanada datang untuk menguji kemampuan mengayunkan lato-lato.
Asal Muasal Lato-Lato
Lato-lato (clackers) berasal dari negara Paman Sam (Amerika Serikat) pada 1960-an. Namun, mulai baru populer di negara itu pada 1970-an. Pada awalnya permainan lato-lato sempat di larang oleh penjabat sekolah AS karena menggunakan material kaca. Namun, kemudian bahan dasarnya diganti dengan plastik akrilik.
Di Amerika Serikat, selain dinamakan clackers ball, ada juga yang menyebutnya newton’s yo yo; sedangkan di Eropa disebut dengan clackers, click-clacks, knockers, ker-bangers dan clankers. Lato-lato mirip juga dengan boleadoras atau bolas, yaitu senjata pilihan untuk Gaucho koboi di Argentina.
Permainan koboi ini pernah menelan korban sehingga dilarang penggunaannya oleh pemerintah setempat. Sementara itu, selain lato-lato (berasal dari bahasa Bugis), di Indonesia ada nama lain, yaitu katto-katto, nok-nok, thok-thok, èthèk-èthèk (sebagian Jawa), dan toki-toki.
Lato-lato sempat populer di Indonesia pada tahun 1990-an hingga awal 2000-an. Viralnya lato-lato di Indonesia saat ini tidak bisa lepas dari pengaruhi media teknologi dan produsen permainan anak. Para pihak yang ingin mengambil keuntungan menyadari bahwa masing-masing zaman atau era-era tertentu selalu punya zeitgest atau yang sering disebut sebagai “jiwa zaman”.
Pada saat ini dimunculkan era permainan lato-lato dan lumayan sukses. Pada dasarnya, lato-lato sama halnya dengan permainan anak-anak musiman pada umumnya, seperti layang-layang, kelereng, gambar, dan permainan anak lainnya, yang sifatnya muncul dan tenggelam.
Berharap Bangkit Lagi ?
Viralnya lato-lato dapat dirasakan seperti masuknya oksigen di “ruang pengap” dunia anak yang sedang kecanduan gawai. Orang tua, guru, dan tokoh masyarakat seolah frustasi dalam berusaha mengatur jarak antara anak-anak dan gawai. Oleh karena itu, viralnya lato-lato, paling tidak untuk sementara waktu, dianggap sebagai “dewa penolong” atas kefrustasian itu. Ada sedikit waktu bagi anak-anak untuk “menghirup udara segar” dari permainan lato-lato. Meskipun dapat dirasakan bahwa lato-lato tidak akan dapat bertahan lama, tampaknya sebentar lagi akan menghilang.
Namun, sesungguhnya bagi orang tua ada harapan bahwa setelah lato-lato akan bangkit lagi seperti permainan tradisional yang dimainkan oleh anak-anak secara masif, seperti benthik, egrang, nekeran, dakon, gatheng, sonda manda, gobag sodor, lowok tembok, gaburan, gamparan, sepak tekong, engkling, cublak-cublak suweng dan banyak lagi yang lainnya.
Namun, itu hanya akan menjadi mimpi jika para pelaku bisnis mainan anak-anak dan pengelola media tidak ikut bertanggung jawab atas tergusurnya permainan tradisional itu. Mereka sesungguhnya memahami bahwa permainan tradisional itu mempunyai nilai edukasi yang tinggi bagi anak. Persoalannya ialah bisnis permainan tradisinal itu tidak akan menjanjikan keutungan ekonomi yang banyak.
Namun demikian, sesungguhnya para pelaku bisnis permainan anak dapat merekayasa dan berinovasi terhadap mainan tradisional sehingga menarik perhatian dan disenangi oleh anak-anak.
Tentu hal itu tidak dapat dilakukan secara mandiri, tetapi perlu menggandeng pelaku media, misalnya melalui TikTok, Snack Video, Helo, VidNow, dan sebagainya.
Nilai Edukasi Lato-Lato
Tanpa menafikan adanya risiko, dapat dipahami bahwa di dalam permaian lato-lato terdapat nilai edukasi bagi anak-anak. Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, menyatakan bahwa jika permainan lato-lato dimanfaatkan baik, hal itu dapat membuat anak lebih memahami pembelajaran. Di dalam permainan lato-lato dapat melatih gerak tangan dan konsentrasi; yang itu dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Lato-lato juga dapat menstimulus kemampuan motorik anak, yakni meningkatkan fungsi koordinasi antara kemampuan kognitif dan motorik. Fungsi ini terjadi ketika anak memainkan lato-lato hingga menimbulkan bunyi thèk-thèk [ţƐk-ţƐk].
Permainan tradisional ini membutuhkan koordinasi gerak tangan dan konsentrasi yang cukup tinggi. Selain itu, nilai edukasi yang dapat diperoleh dari permainan lato-lato, yaitu melatih kesabaran anak, mengontrol diri, dapat meningkatkan kepercayaan diri, melatih keterampilan dan kreativias.
Jika eksistensi permainan tradisional tidak ingin lenyap dari dunia anak, harus ada campur tangan yang serius dari berbagai elemen masyarakat dan pemerintah. Hanya mengharapkan siklus zeitgest atau “jiwa zaman” bukanlah solusi yang dapat diharapkan.
Dunia ini sudah berubah sehingga perputaran zaman pun tidak menentu. Karenanya, pemerintah, melalui kementerian terkait, agar dapat menginisiasi dan bekerja sama dengan pengelola jaringan media dan platform video tontonan anak-anak untuk mengkreasi permainan tradisional yang inovatif yang dekat dengan dunia anak sesuai zamannya.
Selain itu, pemerintah juga perlu membuat regulasi agar semua elemen masyarakat dari RT hingga kementerian, termasuk melalui sekolah, menindaklanjuti dengan menyelenggarakan berbagai event yang menarik. Dengan demikian, anak akan termotivasi untuk ambil bagian dalam pemertahanan eksistensi mainan anak-anak tradisional yang dapat menjadi media pendidikan karakter anak.
Tidak ketinggalan peran orang tua dalam mengondisikan dan memotivasi anak-anaknya merupakan suatu keniscayaan. Jangan sampai anak-anak terperangkap dengan sajian konten-konten jaringan media sosial yang tidak selazimnya dikonsumsi.